A.
Pendahuluan
Bismillahirrohmanirrohim …
Dalam QS. An Nisa ayat 34 sebagian orang memahami bahwa
yang dimaksudkan dengan kata “ar rijal” dan “an nisa’” adalah arti
harfiah atau umumnya, yakni kaum laki-laki dan kaum perempuan. Disamping menjangkau kehidupan rumah
tangga, menurut mereka aturan ayat itu juga menjangkau kehidupan social
masyarakat.
Selain itu juga berbicara peran kepemimpinan perempuan
sekarang ini, banyak menimbulkan pro dan kontra antara pendapat satu dan
pendapat yang lainnya. Antara laki-laki dan perempuan, antara penindasan dan ketidakadilan.cukup
rumit memang, dimana seorang laki-laki menggembar-gemborkan kekuasaanya atas
wanita.
Menurut kesamaan hak laki-laki dan perempuan, juga
menuntut perempuan agar diberi hak untuk menafsirkan ayat al-Qur’an seperti
halnya para mufassir. Untuk lebih jelasnya akan penulis uraikan dalam pokok
pembahasan berikut.
B.
Surat An-Nisa Ayat 34
اَلرِّجَالُ قَوّٰمُوْنَ عَلَي النِّسَاۗءِ بِمَا فَضَّلَ
اللّٰهُ بَعْضَھُمْ عَلٰي بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۭ
فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۭ وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَھُنَّ
فَعِظُوْھُنَّ وَاهْجُرُوْھُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْھُنَّ ۚ فَاِنْ
اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۭاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا 34
Artinya: “Kaum laki-laki
itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh,
ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar. [1][1]
C.
Tafsir Mufrodat
اَلرِّجَالُ (Ar-rijal): jamak dari rajul
yang berarti laki-laki dan dalam Al-Quran banyak digunakan dengan pengertian
suami-suami.
(قَوّٰمُوْنَ عَلَي جمع مذكر من قوام): Kata ini
merupakan bentuk mbalaghah
(untuk menyangatkan) dari qaim yang dibentuk dari qama-yaqumu-qiyam pada umumnya berarti berdiri.
Ketika digabungkan dengan ‘ala, ia menjadi idghom dan bisa
berarti memimpin. Dengan ini dikatakan “hadza qayyimul mar-ati wa qawwamuha”
(ini adalah pemimpin wanita.
(جمع من المرأة) النِّسَاۗءِ Wanita-wanita/
istri-istri
بِمَا
فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَھُمْ عَلٰي بَعْضٍ: Allah telah melebihkan
(kekuatan dan kekuasaan) sebagian
dari kalian atas sebagian yang lain. Yakni masing-masing memiliki
Keistimewaan-keitimewaan. Tetapi keistimewaan yang
dimiliki lelaki lebih menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang
dimiliki perempuan.
بِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ
اَمْوَالِهِمْ
: disebabkan karena mereka telah menafkahkan (mahar) sebagian harta mereka. Yakni kata “telah menafkahkan), menunjukkan bahwa
memberi nafkah kepada wanita telah menjadi suatu
kelaziman bagi lelaki, serta kenyataan umum dalam masyarakat umat manusia sejak
dahulu hingga kini.
فَالصّٰلِحٰتُ
قٰنِتٰتٌ:
Wanita yang shaleh ialah yang taat kepada
Allah dan suaminya
حٰفِظٰتٌ
لِّلْغَيْبِ:
Memelihara apa yang tidak tampak oleh
manusia. Hal yang
Dimaksudkan di sini yaitu tidak berlaku curang serta
memelihara rahasia dan harta suaminya ketika suaminya tidak ada.
الّٰتِيْ
تَخَافُوْنَ : Wanita-wanita yang kalian kira
نُشُوْزَ: Nusyuz, nusyuz di sini yakni نشوزت الأرض Nasyazati
al-ardu, tanah lebih tinggi dibanding yang ada di sekitarnya.
Maksudnya di sini adalah durhaka
dan membesarkan diri/ membangkang terhadap suami. [2][2]
فَعِظُوْھُنَّ: Maka
nasihatilah mereka (untuk taat dan menghindari maksiat).
فَعِظُوْھُنَّ: Tinggalkanlah
mereka yakni perintah kepada suami untuk meninggalkan istri, didorong oleh rasa
tidak senang pada kelakuannya.
فِي
الْمَضَاجِعِ:
Dalam tempat tidur (pisah ranjang) yakni suami hendaknya jangan meninggalkan rumah, bahkan tidak
meninggalkan kamar tempat suami-
istri biasanya tidur.
وَاضْرِبُوْھُنَّ: Dan pukullah
mereka (dengan pukulan yang tidak menyakiti), terambil
dari kata dharaba, yang berarti memukul dan memukul tidak selalu
dipahami dalam arti menyakiti atau melakukan sesuatu
tindakan keras dan kasar. [3][3]
D.
Asbabun nuzul
Menurut At-Thobari asbabun nuzul surat
An-Nisa ayat 34 menyebutkan peristiwa Sa’ad bin Ar-Robi’ dan isrinya Habibah
binti Zaid bin Abi Zubair. Diriwayatkan
bahwa Habibah nusyuz terhadap
suaminya, lalu Sa’ad memukul Habibah. Maka Habibah mengeluhkan suaminya kepada
ayahnya. Kemudian ia bersama ayahnya mengadukan peristiwa ini kepada
Rosululloh.rosululloh menganjurkan Habibah untuk membalasnya dengan yang
setimpal (qishos). Berkenaan dengan peristiwa itulah Rosululloh bersabda: “Kita
menginginkan suatu cara, Allah menginkan cara yang lain. Dan yang diinginkan
Allah itulah yang terbaik”. Kemudian dibatalkan hukum qishos terhadap pemukulan
suami itu. Sedangkan bagi istri, Allah memberikan dua sifat, yaitu qonitatun dan hafidzotun[4][4].
E.
Pembahasan
Dalam QS. An-Nisa ayat 34 telah
dijelaskan perempuan-perempuan yang sholeh adalah mereka yang taat
kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah
telah menjaga mereka.
Adapun maksud dari statement ini, wanita itu adalah pemimpin
dalam rumah tangganya, pemimpin
atas penghuni rumah suaminya dan anaknya dan akan bertanggung jawab pada
kepemimpinannya. Oleh karena itu untuk dapat menjadi pemimpin yang baik dan
mampu untuk mempertanggung jawabkan kepemimpinannya pada suaminya, dan tentunya
pada Allah SWT kelak. Dan menjadi seorang ibu, harus mempunyai ilmu yang
memadai ntuk membimbing keluarganya. Maka, wanita harus terus bergerak untuk
meningkatkan kualitas dirinya. Karena untuk mencetak generasi yang berkualitas, dibutuhkan pendidik yang
berkualitas pula. Hal itu berarti seorang wanita tidak boleh berhenti belajarr.
Selain itu seorang wanita juga disebut sebagai madrasah al-ula
(ibu adalah sekolah atau madrasah pertama bagi anak-anaknya). Dikatakan
demikian karena jika seorang ibu mempersiapkan
anak-anaknya dengan baik maka sama halnya seorang ibu telah menyyiapkan suatu
bangsa yang berakar kebaikan[5][5].
Menurut pandangan para ahli
fiqih menyatakan bahwa peran perempuan dalam politik masih menjadi perdebatan
dan perbedaan pendapat. Namun pendapat banyak ulama terutama para fuqoha salaf
sepakat bahwa wanita dilarang menjadi pemimpin. Kesepakatan ini didasari oleh
firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 34.
Hal senada juga dapat ditemui
dihadist yang diriwayatkan Imam Bukhari “Tidak akan beruntung suatu kaum
yang menyerahkan kepemimpinannya kepada seorang perempuan”[6][6]. Inilah yang menjadi dasar kesepakatan
para ulama terhadap kepemimpinan perempuan.
Pernyataan dan kesepakatan ulama ini
menjadi pertanyaan dan pernyataan bahwa islam mendeskriminasikan atau
mengenyampingkan dan menganggap wanita itu lebih rendah kedudukannya dalam
islam. Berdasarkan padangan inilah mulai bermunculan adanya berbagai faham yang
menyatakan diri sebagai kaum feminisme yang bercita-cita memajukan islam. Namun
ulama kontemporer ternama Yusuf Al-Qordhawi memiliki pandangan dan pendapat
yang berbeda terhadap kepemimpinan wanita dalam berpolitik.
Qordhawi memperbolehkan wanita dalam
berpolitik. Beliau menjelaskankan bahwa penafsiran terhadap surat an-nisa ayat
34 bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita dalam lingkup keluarga atau
rumah tangga. Jika ditinjau tafsir surat An-Nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah
pemimpin wanita, bertindak sebagai orang dewasa terhadapnya, yang menguasainya,
dan pendidiknya tatkala dia melakukan penyimpangan. “Karena Allah telah
mengunggulkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Yakni, karena kaum
laki-laki itu lebih unggul dan lebih baik daripada wanita. Oleh karena itu kenabian
hanya diberikan kepada kaum laki-laki[7][7]. Laki-laki menjadi pemimpin wanita
yang dimaksud ayat ini adalah kepemimpinan dirumah tangga, karena laki-laki
telah menginfakkan hartanya, berupa mahar, belanja dan tugas yang dibebankan
Allah kepadanya untuk mengurus mereka. Tafsir ibnu katsir ini menjelaskan bahwa
wanita tidak dilarang dalam kepemimpinan politik, yang dilarang adalah
kepemimpinan wanita dalam puncak tertinggi atau top
leader tunggal yang mengambil keputusan tanpa bermusyawarah, dan juga
wanita dilarang menjadi hakim. Hal inilah yang mendasari Qardhawi dalam
memperbolehkan wanita berpolitik.
Qordhawi juga menambahkan bahwa wanita
boleh berpolitik dikarenakan pria dan wanita dalam hal mu’amalah memiliki
kedudukan yang sama hal ini dikarenakan keduanya sebagai manusia mukallaf yang
diberi tanggung jawab penuh untuk beribadah, menegakkan agama, menjalankan
kewajiban, dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Pria dan wanita memiliki hak
yang sama untuk memilih dan dipilih, sehingga tidak ada dalil yang kuat atas
larangan wanita untuk berpolitik. Namun yang menjadi larangan bagi wanita
adalah menjadi imam atau khilafah (pemimpin negara)[8][8].
Quraish Shihab juga
menambahkan bahwa dalam Al – Qur’an banyak menceritakan persamaan kedudukan
wanita dan pria, yang membedakannya adalah ketaqwaanya kepada Allah. Tidak ada
yang membedakan berdasarkan jenis kelamin, ras, warna kulit dan suku. Kedudukan
wanita dan pria adalah sama dan diminta untuk saling bekerjasama untuk mengisi
kekurangan satu dengan yang lainnya, sebagai mana di jelaskan dalam surat At –
Taubah ayat 71 yang artinya :
. “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”.
Islam sebenarnya tidak
menempatkan wanita berada didapur terus menerus, namun jika ini dilakukan maka
ini adalah sesuatu yang baik, hal ini di nyatakan oleh imam Al-Ghazali dalam
Quraish (2008:915) pada dasarnya istri tidak berkewajiban melayani suami dalam
hal memasak, mengurus rumah, menyapu, menjahid, dan sebagainya. Akan tetapi
jika itu dilakukan oleh istri maka itu merupakan hal yang baik. Sebenarnya
suamilah yang berkewajiban untuk memberinya atau menyiapkan
pakaian yang telah dijahit dengan sempurna, makanan yang telah dimasak secara
sempurna[9][9]. Artinya kedudukan wanita dan pria
adalah saling mengisi satu dengan yang lain, tidak ada yang superior. Hanya
saja laki-laki bertanggung jawab untuk mendidik istri menjadi lebih baik di
hadapan Allah SWT.
Sebenarnya hanyalah
permainan kaum feminis saja yang menyatakan bahwa laki-laki superior
dibandingkan dengan wanita, agar mereka dapat melakukan hal-hal yang melampaui
batas, dengan dalih bahwa wanita dapat hidup tanpa laki-laki, termasuk dalam
hal seks, sehingga muncullah fenomena lesbian percintaan sesama jenis,
banyaknya fenomena kawin cerai karena sang istri menjadi durhaka terhadap
suami, padahal dalam rumah tangga pemimpin keluarga adalah laki-laki, sedangkan
dalam hal berpolitik tidak ada larangan dalam islam untuk berpolitik dan
berkarier.
Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan ada
tujuh syarat seorang kepala negara atau (Khalifah) dapat di bai’at yaitu
muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu. Syarat muslim
merupakan syarat mutlak untuk mengangkat pemimpin dalam sebuah negara
yang mayoritas penduduk islam, dan dilarangkan mengangkat pimpinan dari
kalangan kafir. Hal ini termaktub dalam surat An-Nisa ayat 144 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali[10][10]dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)”.
Kedua laki-laki, wanita dalam hal ini
dilarang menjadi khalifah, imam, ulil amri, atau kepala negara dalam hal ini
kepala negara tidak dimaksud presiden, yang dimaksud disini adalah kepemimpinan
yang dapat mengambil keputusan tanpa dimusyawarahkan terlebih dahulu, sedangkan
presiden dalam membuat keputusan harus dilakukan dengan bermusyawarah terlebih
dahulu terhadap pembantu-pembantunya baik menteri, staff ahli, maupun dengan
penasihat pribadinya.
Ketiga baligh, dengan syarat baligh
maka pemimpin dibebani oleh hukum, sehingga apa yang di pikulnya atau diamanahi
kepada mereka maka akan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum, baik hukum
dunia, maupun hukum dihadapan Allah.
Keempat berakal, orang yang hilang
akalnya dilarang menjadi pemimpin karena akan mengambil keputusan yang tidak
tepat, dan kehilangan akal akan membebaskan seseorang dari hukum,
sehingga tidak dapat dimintai pertanggung jawabannya.
Kelima adil, yaitu pemimpin yang
konsisten dalam menjalani agamanya hal ini termaktub dalam surah An-Nahl ayat
90 yang artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Keenam, merdeka terbebas dari
perbudakan sehingga dapat mengambil keputusan tanpa interfensi dari tuannya.
Dan seorang hamba sahaya dilarang diangkat menjadi pemimpin karena dia
tidak memiliki wewenang untuk mengatur orang lain dan bahkan terhadap dirinya
pun tidak memiliki wewenang.
Ketujuh, mampu melaksanakan amanat
khilafah, jika tidak mampu menjalankan amanat maka tunggulah
hasilnya. Sebagaimana di jelaskan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari ” Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah
Kiamat” (HR Bukhari).
Qardhawi dalam hal ini kembali
mempertegas bahwa kepemimpinan kepala negara dimasa sekarang ini kekuasaannya
tidak sama dengan seorang ratu atau khalifah di sama lalu yang identik dengan
seorang imam dalam shalat. Sehingga kedudukan wanita dan pria dalam hal
perpolitikan adalah sejajar karena sama-sama memiliki hak memilih dan hak
dipilih. Dengan alasan bahwa wanita dewasa adalah manusia mukallaf (diberi tanggung
jawab) secara utuh, yang dituntut untuk beribadah kepada Allah, menegakan
agama, dan berda’wah .
Menurut Abu Hanifah seorang perempuan
dibolehkan menjadi hakim, tetapi tidak boleh menjadi hakim dalam perkara
pidana. Sementara Imam Ath-Thabari dan aliran Dhahiriyah membolehkan seseorang
perempuan menjadi hakim dalam semua perkara, sebagaimana mereka membolehkan
kaum perempuan untuk menduduki semua jabatan selain puncak kepemimpinan negara[11][11].
F.
Kesimpulan
Ulama-ulama kontemporer saat ini tidak
mentafsirkan ayat al-Qur’an dan al-hadist mutlak dengan terjemahannya, namun
dibahas berdasarkan asbab-asbabnya, sehingga tidak memandang dalil dengan
kacamata kuda. Kepemimpinan wanita dalam perpolitikan menurut islam di
perbolehkan, menurut Qardhawi wanita diperbolehkan terjun berpolitik dan bahkan
menjadi pemimpin dalam sebuah negara. Qordhawi memandang kepemimpinan dalam
sebuah negara pada saat ini tidaklah sama dengan kepemimpinan khilafah yang
dapat mengambil keputusan secara langsung, sedangkan kepemimpinan negara pada
saat ini dalam mengambil keputusan harus dilakukan dengan bermusyawarah
terlebih dahulu dengan para menteri, ataupun dengan staff ahlinya. Hal senada
juga di sampaikan oleh Imam Ath-Thabari, bahwa puncak kepemimpinan yang tidak
boleh diduduki oleh perempuan adalah kepemimpinan khilafah yang meliputi
seluruh umat Islam di dunia, bukan puncak kepemimpinan di sebuah kawasan atau
negara tertentu semata, yang pada saat ini lebih dikenal dengan kepemimpinan
“waliyul wilayah” yakni kepemimpinan de facto yang bersifat regional.
Kepemimpinan ini boleh di pegang oleh perempuan. Disamping itu beliau juga
menyatakan bahwa wanita boleh menjadi hakim disegala urusan perkara yang ada.
Namun Imam Abu Hanifah memperpolehkan menjadi hakim namun dilarang menjadi
hakim yang memutuskan perkara pidana.
Larangan perempuan menjadi
pemimpin dalam perpolitikan dikarenakan memandang dengan kaca mata kuda,
sehingga mengabaikan kajian yang lebih dalam, berkaca dari kesuksesan ratu
Balqis dalam memimpin dengan adil, jujur, taat ibadah dan berhasil membawa
rakyatnya hidup sejahtera sehingga ini dapat mematahkan pernyataan bahwa
terlarangnya wanita dalam memimpin di perpolitikan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaradhawi, Yusuf. 2008. Meluruskan
Dikotomi Agama & Politik “Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan
Liberalisme”, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar
M. Shihab, Quraish. 2011. M. Quraish
Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui, Jakarta :
Lentera Hati
Nasib Ar-Rifa’I, Muhammad. 2007.
Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir IBNU KATSIR Jilid 1, Depok : Gema Insani
Press
Zainuddin, Muhammad dan Maisaroh,
Ismail. 2005. POSISI WANITA DALAM SISTEM POLITIK ISLAM (Telaah Terhadap
Pemikiran Politik Yusuf Al-Qardhawi)
Said Al-Khin, Mustofa, dkk. 2010. Syarah & Terjemah
Riyadhus Shalihin Karya Imam Nawawi Jilid 1, Jakarta : Al-I’tishom
Nur Jannah Ismail, 2003. Perempuan Dalam Pasungan.
Yogyakarta : LKis Yogyakarta
Di Populerkan Oleh Ahsan melalui blogger Sejahteraahsan@gmail.com
[2][2] Ahmad
Hatta, Tafsir Qur’an Perkata: Dilengkapi Dg Asbabun Nuzul dan Terjemah, Jakarta, Maghfirah, 2009, hlm. 84
[6][6] Said Al-Khin, Mustofa, dkk. 2010. Syarah & Terjemah Riyadhus Shalihin
Karya Imam Nawawi Jilid 1, Jakarta : Al – I’tishom
[8][8] Zainuddin,
Muhammad dan Maisaroh, Ismail. 2005. POSISI WANITA DALAM SISTEM POLITIK
ISLAM (Telaah Terhadap Pemikiran Politik Yusuf Al-Qardhawi),
[9][9] Pada
dasarnya istri tidak berkewajiban melayani suami dalam hal memasak, mengurus
rumah, menyapu, menjahid, dan sebagainya. Akan tetapi jika itu dilakukan oleh
istri maka itu merupakan hal yang baik. Sebenarnya suamilah yang berkewajiban
untuk memberinya atau menyiapkan pakaian yang telah dijahit dengan sempurna,
makanan yang telah dimasak secara sempurna. M. Quraish Shihab Menjawab 1001
Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui halaman 915.
[11][11] Yusuf Al
Qardhawi, 2008. Meluruskan Dikotomi Agama & Politik “Bantahan Tuntas
Terhadap Sekularisme dan Liberalisme”, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar