Perpustakaan di Spayol |
Bagi
sebagian orang, duduk khusyuk menenggelamkan diri di lautan buku perpustakaan
jauh lebih menyenangkan dibanding berada di tengah pesta perayaan. Jalan-jalan
ke toko buku jauh lebih seru dibanding sibuk berbelanja di mall. Aroma kertas
dari buku-buku yang menempel di dinding rumah lebih membuat tenang daripada
aroma terapi manapun.
Membaca
terkadang membuat lupa waktu. Tidak terasa cerahnya pagi telah berganti
merahnya lagit sore. Tidak terasa rupanya jari-jari telah membalikkan ratusan
halaman. Pengetahuan bertambah. Wawasan kian luas. Otak kita butuh akan membaca
sebagaimana pedang dan pisau butuh akan batu asah.
Membaca
adalah tradisi umat Islam. Bahkan ayat yang pertama turun memerintah untuk
membaca. Tradisi ini terus dijaga oleh pendahulu kita. Para khalifah membangun
perpustakaan besar di rumah dan di wilayahnya. Para ulama terus mengkaji ilmu.
Menginspirasi umat untuk membaca buku. Di antara perpustakaan yang terkenal
adalah perpustakaan bani Umayyah di Andalusia.
Kegemaran Bani Umayyah Terhadap Ilmu Pengetahuan
Daulah
bani Umayyah di Andalus didirikan pada tahun 172 H oleh seorang Quraisy yang
bernama Abdurrahman bin Muawiyah bin Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan. Atau
yang lebih dikenal dengan Abdurrahman ad-Dakhil. Sejarawan menyebut daulah ini
dengan Daulah Bani Umayyah II. Karena berdiri setelah runtuhnya Daulah Umayyah
di Damaskus. Masa pemerintahan bani Umayyah di Andalus adalah masa-masa
stabilnya wilayah semenanjung Iberia itu.
Para
raja Daulah Umayyah II sangat cinta dan perhatian terhadap ilmu pengatahuan.
Pada masa pemerintahan Muhammad bin Abdurrahman al-Ausath (273 H), sejarawan
mulai memperhatikan perpustakaan-perpustakaan Andalusia. Dan yang paling
terkenal adalah perpustakaan Cordoba. Kemudian Abdurrahman an-Nashir (350 H)
dikenal sangat cinta dan menggandrungi buku.
Kecintaan
para khalifah Daulah Bani Umayyah II akan ilmu pengetahuan sampai terdengar ke
Kerajaan Bizantium. Kaisar Konstantin VII pun berinisiatif memberi hadiah
kepada Abdurrahman bin an-Nashir sebuah buku yang belum ia ketahui. Konstantin
VII memberinya buku kedokteran berbahasa Yunani karya Diskuridis. Dan juga buku
sejarah kehebatan bangsa Romawi karya Herosis. Tentu ini adalah hadiah yang
istimewa bagi Abdurrahman an-Nashir (Uyunu
al-Anba fi Thabaqat al-Athibba oleh Ibnu Abi Ushaibah: Tahqiq Nizar
Ridha. Hal: 493).
Abdurrahman
an-Nashir memiliki dua orang anak: al-Hakam dan Muhammad. Keduanya mendapat
bimbingan khusus dari para sastrawan dan ulama. Sehingga keduanya pun cinta akan
ilmu pengetahuan. Sejarawan Spanyol, Julian Ribera, mengatakan, “Perpustakaan
ayah mereka tidak cukup memuaskan semangat belajar mereka. Dan keduanya saling
berpacu untuk membuat perpustakaan pribadi. Perpustakaan siapakah yang paling
lengkap koleksinya dan paling bagus buku-bukunya. Seteleha beberapa lama
Pangeran Muhammad wafat. Saudaranya, Pangeran al-Hakam, mewarisi perpustakaan
miliknya. Kemudian wafat pula sang ayah, perpustakaanya diwariskan kepada
al-Hakam. Lalu al-Hakam menggabungkan ketiga perpustakaan tersebut. Dan
terbentuklah perpustakaan yang sangat besar (at-Tarbiyah
al-Islamiyah fi al-Andalus oleh Julian Ribera, Hal: 156).
Perpustakaan al-Umawiyah
Ibnu
Hazm mengisahkan tentang betapa besarnya Perpustakaan al-Umawiyah, “Talid
al-Fata –pegawai Perpustakaan al-Umawiyah di Andalus- menceritakan kepadaku
bahwa jumlah katalog yang memuat nama-nama buku di sana berjumlah 44 katalog.
Setiap katalog terdiri dari 50 lembar. Di dalamnya hanya tertulis nama-nama
buku saja” (al-Hilatu
as-Sira oleh Ibnu al-Abar: ditahqil oleh Husein Mu’nis: 2/203).
Jadi katalog buku-buku di Perpustakaan al-Umawiyah terdiri dari 2200 halaman.
Ini menunjukkan betapa besarnya perpustakaan milik kerajaan tersebut.
Diperkirakan, setidaknya ada 100.000 buku yang memenuhi koleksinya.
Peranan Ulama Terhadap Perpustakaan
Banyak
orang yang terlibat dalam membangun perpustakaan ini sehingga menjadi
perpustakaan terbesar di dunia pada saat itu. Yang pertama adalah Abdurrahman
an-Nashir. Kemudian putranya al-Hakam al-Mustanshir. Juga para ulama,
sastrawan, ahli fikih, berbagai penjuru negeri.
Pegawai-pegawai
di Perpustakaan al-Umawiyah adalah para professional yang berasal dari Andalus
hingga Baghdad. Mereka adalah para penulis dan cendekiawan. Mereka adalah
orang-orang yang memiliki perhatian besar terhadap buku.
Para
penulis dan cendekiawan itu menulis buku-buku baru, hasil dari penelitian
mereka. Lalu diserahkan kepada para ulama untuk dikoreksi. Setelah mendapat
rekomendasi para ulama, barulah buku-buku layak dimasukkan ke perpustakaan.
Para penulis pun mendapat imbalan dan pengharagaan dari kerajaan.
Seorang
sejarawan yang bernama Ibnu al-Faradhi menyebutkan beberapa ulama yang memiliki
perhatian besar dalam mengoreksi buku-buku sebelum dimasukkan di Perpustakaan
al-Umawiyah di Cordoba dan az-Zahra. Di antaranya adalah al-Imam ar-Rabaji
Muhammad bin Yahya al-Azdi.
Ibnu
al-Faradhi mengatakan, “Ar-Rabaji Muhammad bin Yahya al-Azdi adalah seorang
yang fakih. Seorang imam terpercaya. Ia mengambil riwayat Sibawaih dari jalur
Ibnu an-Nuhas. Ar-Rajabi sangat detil dan teliti. Ia juga cerdas dalam
beranalogi. Orang-orang mengaguminya sebagai ahli i’rab. Amirul mukminin
an-Nashir memintanya untuk menjadi pendidik anaknya, al-Mughirah… …Ia adalah
seorang yang shaleh. Wafat pada bulan Ramadhan tahun 358 H.” (Tarikh al-Ulama wa ar-Ruwat lil Ilmi
bil Andalus oleh Ibnu Faradhi: Ditahqiq oleh Izat al-‘Ithar Hal:
2/71).
Ahli
ilmu lainnya adalah seorang sastrawan yang bernama Muhammad bin al-Husein
al-Fahri al-Qurthubi. Ia juga memiliki peranan besar dalam mengoreksi buku-buku
yang masuk ke dalam Perpustakaan al-Umawiyah.
Selain
kaum laki-laki, ada pula beberapa orang dari kaum perempuan yang berperan besar
dalam pembangunan Perpustakaan al-Umawiyah. Di antaranya adalah seorang penulis
wanita yang bernama Lubna. Ia adalah juru tulis Khalifah al-Hakam
al-Mustanshir. Ibnu Bisykawal berkomentar tentangnya, “Ia adalah seorang wanita
yang ahli dalam menulis. Ahli nahwu dan syair. Juga ahli dalam berhitung. Ia
menguasai banyak ilmu. Tidak ada seorang pun di istana wanita, yang lebih
cerdas darinya. Ia adalah wanita ahli arudh (salah satu cabang ilmu Bahasa
Arab) dan bagus tulisannya. Lubna wafat pada tahun 374 H.” (ash-Shilah oleh Ibnu
Bisykawal: Ditahqiq oleh Ibrahim al-Ibyari: 3/992).
Penulis
wanita lainnya adalah Muzanah dan Fatimah bin Zakariya. Muzanah adalah juru
tulis Khalifah an-Nashir li Dinillah. Wanita yang paling baik tulisannya. Wafat
pada tahun 358 H (ash-Shilah
oleh Ibnu Bisykawal: 3/992). Adapun Fatimah binti Zakariya, menurut Ibnu
Bisykawal, ia adalah penulis yang menyenangkan. Orang yang bersungguh-sungguh
dalam khat. Dan santun dalam bertutur. Ibnu Hayyan menyebutkan Fatimah wafat
pada Jumadil Ula tahun 427 H. Ia wafat dalam keadaan masih gadis (ash-Shilah oleh Ibnu
Bisykawal: 3/994).
Kecintaan Luar Biasa Terhadap Buku
Seorang
orientalis, Julian Ribera, benar-benar kagum dengan kecintaan umat Islam
Andalusia akan buku. Ia takjub bagaimana kaum muslimin berjalan dari barat ke
timur hanya untuk mengoleksi buku baru. Kaum muslimin terus menambah ilmu
pengetahuan mereka dengan membaca buku. Sehingga Cordoba menjadi kota para
pemikir, para ahli, dan para ilmuan.
Membaca
adalah tradisi umat Islam. Belajar dan mengkaji ilmu sudah menjadi bagian dari
sejarah kita. Terlalu banyak tokoh-tokoh inspiratif dalam peradaban Islam.
Namun adakah yang mau meneladani mereka?!
Sumber:
– Makalah yang ditulis oleh Muhammad Sya’ban Ayyub dengan judul al-Maktabah al-Umawiyah fi an-Andalus.
– Makalah yang ditulis oleh Muhammad Sya’ban Ayyub dengan judul al-Maktabah al-Umawiyah fi an-Andalus.
by Ahsan dipopulerkan oleh sejahteraahsan@yahoo.com