Dialog masa dinasti abbasiyah |
Sejarah Dinasti Bani Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu Al-Abbas, nama lengkapnya adalah Abdullah
Al-Saffah Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas pada tahun 132 H (750 M)
s.d 656 H (1258 M). Dinamakan
khilafah Abbasiyah karena para
pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad
SAW. Dinasti Bani Abbasiyah terbentuk melalui kudeta atau revolusi yang
dilakukan oleh Abu Abbas as-Shaffah dengan dukungan kaum Mawali dan Syiah
terhadap dinasti Umayyah di pusat kota Damaskus pada tahun 132 H/750 M. Gelar as-Shaffah
“bloodshedder” bearti “yang haus darah” diberikan belakangan oleh para penulis
sejarah sehubung dengan kebijakannya membunuh seluruh keturunan Umayyah dan
semua lawan politiknya termasuk kelompok Syiah yang sebelumnya membantu
Abbasiyah menjatuhkan dinasti Bani Umayyah. Selama dinasti ini berkuasa, pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu,
para
sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani
Abbas menjadi lima periode,
yaitu: [1] 1) Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode
pengaruh Persia pertama. 2) Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut
masa pengaruh Turki pertama. 3) Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M),
masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode
ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua. 4) Periode Keempat (447 H/1055 M –
590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah
Abbasiyah, Periode ini disebut juga masa pengaruh Turki kedua. 5) Periode
Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti
lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad. Menurut Ira M.
Lapidus menyederhanakan fase dinasti
Bani Abbas menjadi dua, yaitu:[2] 1) Masa awal dinasti Bani Abbas (750-833 M).
2) Masa kemunduran dinasti Bani Abbas (833-945 M). Menurut Muhammad Hudlari
Bek, kekuasaan Bani Abbasiyah ada lima periode, yaitu:[3]
1. Periode kekuatan dan penuh
karya, berlangsung 100 tahun (132-232 H/750-847 M) 2. Periode berkuasanya
Mamalik Turki, berlangsung 102 tahun (232-334 H/847-945 M) 3. Periode
berkuasanya raja- raja dinasti Buwaihi, berlangsung 113 tahun (334-447
H/945-1055 M) 4. Periode berkuasanya raja- raja dinasti Saljuk, berlangsung 83
tahun (447-530 H/1005-1136 M) 5. Periode Bani Abbasiyah mendapat kembali
pengaruh politiknya, berlangsung 126 tahun (530-656 H/1135-1258 M) Pada periode
Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), pemerintahan Bani Abbas mencapai masa
keemasannya.
Secara politis, para khalifah
betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama
sekaligus. Periode ini berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat
dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun, setelah periode pertama ini berakhir,
pemerintah Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik. Meskipun filsafat dan
ilmu pengetahuan terus berkembang. Masa pemerintahan Abu Al- Abbas, pendiri
dinasti Abbasiyah, sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Oleh karena itu,
Pembina sebenarnya dari daulat Abbasiyah adalah peminpin selanjutnya yaitu
khalifah Abu Ja’far Al-Manshur (754-775 M). Dia dengan keras menghadapi
lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij, dan Syi’ah yang merasa dikucilkan
dari kekuasaan.
Untuk mengamankan kekuasaannya,
tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu
disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya
sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan
Mesir, karena tidak bersedia membaitnya, dibunuh oleh Abu Muslim Al-Khurasani
atas perintah Abu Ja’far. Abu Muslim sendiri karena dikhawatirkan akan menjadi
pesaing baginya, dihukum mati pada tahun 755 M. Selanjutnya, Abu Ja’far Al-
Manshur melakukan perubahan mendasar bagi perkembangan dinasti Abbasiyyah
sebagai Negara adikuasa di masa mendatang, yaitu:[4] 1) Pada tahun 762 M, Abu
memindahkan ibukota dari Damaskus ke Hasyimiyah, kemudian dipindahkan lagi ke
Baghdad dekat dengan Ctesiphon, bekas ibu kota Persia.
Dengan demikian, ibu kota
pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. 2)
Mengangkat sejumlah personil atau aparat untuk menduduki jabatan di lembaga
eksekutif dan yudikatif. 3) Di bidang pemerintahan, Al- Manshur menciptakan tradisi
baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Wazir pertama yang
diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. 4) Membentuk
lembaga protokol Negara dan sekretaris Negara 5) Membentuk kepolisian negara di
samping membenahi angkatan bersenjata. 6) Menunjuk Muhammad ibn Abd Al-Rahman
sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. 7) Jawatan pos yang sudah ada
sejak masa dinasti Bani Umayyah di tingkatkan peranannya dengan tambahan tugas.
Kalau dahulu hanya sekedar untuk
mengantar surat, pada masa Al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun
seluruh informasi di daerah-daerah, sehingga administrasi kenegaraan dapat
berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku
gubernur setempat kepada khalifah. Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur berusaha
menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari
pemerintah pusat dan memantapkan keamanan daerah pembatasan.
Di antara usaha- usahanya
tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah
Coppadocia, dan Cicilia pada tahun 756-758 M. ke Utara, bala tentaranya
melintasi pegunungan, Taurus dan mendekati selat Bosporus. Di pihak lain, dia
berdamai dengan kaisar Constantive V dan selama genjatan senjata 758-765 M,
Bazantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan
pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain
Oksus dan India.
Pada masa Al-Manshur, pengertian
khalifah kembali berubah. Dia berkata, “Innama ana Sulthan Allah fi ardhihi”,
artinya sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi- Nya.[5] Dengan
demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut dari Allah, bukan
dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagai pada masa al-Khulafa
al-Rasyadun. Di samping itu, berbeda dari daulat Bani Umayyah, dalam
penggunaan.
khalifah disebut “Khalifah
Allah”, artinya penguasa yang diangkat oleh Allah. Dalam dinasti Abbasiyah,
khalifah-khalifah Abbasiyah memakai “gelar tahta”, seperti Al-Manshur adalah
“gelar tahta” Abu Ja’far. “gelar tahta” itu lebih populer daripada nama yang
sebenarnya. Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan dan
dibangun oleh Abu Al-Abbas dan Abu Ja’far Al-Manshur, maka puncak keemasan dari
dinasti ini berada pada delapan khalifah sesudahnya, yaitu Al-Mahdi (775-785
M), Al-Hadi (775-786 M), Al-Harun Al-Rasyid (786-809 M), Al-Amin (809-813 M),
Al- Ma’mun (813-833 M), Al- Mu’tashim (833-842 M), Al-Wasiq (842-847 M), dan
Al-Mutawakkil (847-861 M).[6] Pada masa khalifah Al-Mahdi (775-785 M),
perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan disektor pertanian, melalui
irigasi,dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan
besi. Serta dagang transit antara Timur dan Barat juga membawa kejayaan.
Bashrah menjadi pelabuhan yang
penting. Pada masa khalifah ketiga ini, para tahanan penjara yang sebelumnya
dipenjara sebelum ia memerintah dikeluarkan kecuali yang melakukan kesalahan.
Kemudian iapun membuat jalan untuk menuju Mekkah dan membangun perairan dari
sumur- sumur besar untuk minum para musafir, dan dialirkan ke penjara-penjara
serta dijaga kebersihannya. Iapun merehabilitasi masjid Al-Haram dan ia
menghilangkan nama al- Walaid bin Abdil Malaik dari dinding masjid Al-Haram dan
diganti namanya. Kemudian ia juga membuat kantor-kantor pos surat untuk
penduduk Mekkah, Madinah, dan Yaman, dan menunjuk wakil-wakil raja di berbagai
Daulat Abbasiyah.
Pada masa khalifah al-Mahdi,
Baghdad menjadi pusat perdagangan internasional dan perkembangan berbagai ilmu,
seperti Assyiir hikmah, adab,, dan musik.[7] Pada masa Al-Harun Al-Rasyid
(786-809 M), dan putranya Al- Ma’mun (813-833 M), daulat Abbasiyah mencapai
puncak kejayaannya. Pada masa Al- Harun Al-Rasyid sebagai khalifah menggantikan
khalifah Al-Mahdi, kekayaan yang dimiliki dimanfaatkan untuk keperluan sosial.
Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya,
sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu, pemandian
pamandian umum juga dibangun.
Tingkat kemakmuran yang paling
tinggi terwujud pada masa khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada
masa keemasannya. Pada masa inilah Negara Islam menempatkan dirinya sebagai
Negara terkuat dan tak tertandingi. Dalam tradisi Persia terdapat Jundishapur
Academy, lembaga yang menjadi tempat menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita
untuk raja pada Sasania, kemudia Al-Harun Al-Rasyid melanjutkan tradisi itu
dengan mendirikan Khizanat al-Hikmat yang berfungsi sebagai perpustakaan,
tempat penerjemahan, dan penelitian.[8] Pada masa Al-Harun Al-Rasyid, sebelum
meninggal ia telah menyiapkan dua anaknya yang diangkat menjadi putra mahkota
untuk menjadi khalifah, yaitu Al- Amin dan Al-Ma’mun.
Al-Amin diberi hadiah berupa
wilayah bagian Barat sedangkan Al- Ma’mun diberi hadiah berupa wilayah bagian
timur. Pada masa khalifah Al-Ma’mun (813-833 M), yang menggantikan khalifah
Al-Harun Al-Rasyid, dikenal dengan khilafah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada
masa pemerintahannya, penerjemahan buku digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-
buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan
menganut agama lain yang lain. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya
besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bayt al- Hikmat, yang dahulu
bernama Khizanat al-Hikmat, didirikan oleh Al-Harun Al-Rasyid.
Bangunan ini berfungsi sebagai
tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, Etiopia,
dan India. Di Bayt al-Hikmat, Al-Ma’mun memperkerjakan Muhammad Ibn Musa
Al-Hawarijmi yang ahli dalam bidang aljabar dan astronomi, dan orang-orang
Persia.[9] Sejak abad ke 9 M. Bayt al- Hikmat dijadikan tempat penerjemah
karya-karya filosof klasik di bawah bimbingan Hunyn Ibn Ishaq. [10] mereka
menerjemahkan buku-buku filsafat karya Galen, Aristoteles, dan Plato. Di Bayt
al-Hikmat juga terdapat observatorium astronomi untuk meneliti perbintangan.
Pada masa Al- Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu
pengetahuan.
Pada masa Al-Ma’mun, faham
mu’tazilah menjadi madzhab resmi dinasti Bani Abbas (827 M), karena Al-Ma’mun
penganut aliran Mu’tazilah dan banyak dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan
falsafat Yunani. Harun Nasution menjelaskan bahwa faham Mu’tazilah yang
dijadikan alat oleh al-Ma’mun untuk menguji para pemuka agama dan hakim adalah
ajaran tentang kemakhlukan Al-Qur’an. [11] Dalam pandangan Mu’tazilah,
al-Qur’an tidak qadim (dahulu), tetapi muhdats (baru). Karena sebagian (ayat)
Al-Qur’an diturunkan lebih dahulu dari yang lainnya sedangkan sesuatu yang
qadim tidak mungkin didahului oleh yang lain (idz al-qadim huwa ma la
yataqaddamuh ghayruh). Aliran Mu’tazilah beragumentasi dengan Al-Quran surat
Al-Hijr ayat 9.
Pada masa Al-Mu’tashim (833-842
M), sebagai khalifah selanjutnya, memberikan peluang besar kepada orang-orang
Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keteribatan mereka dimulai sebagai
tentara pengawal. Tidak seperti pada masa daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah
mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktik orang-orang muslim mengikuti
perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit
professional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi
sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan
politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri
maupun dari luar. Gerakan- gerakan itu seperti gerakan Syi’ah dan konflik
antarbangsa serta aliran pemikiran keagamaan, semua dapat dipadamkan.
Pada Masa Al-Watsiq, sebagai
khalifah selanjutnya. Al-Watsiq berusaha melepaskan diri dari pengaruh Turki
dengan memindahkan ibu kota dari Baghdad ke Samarra. Namun, khalifah Al-Watsiq
menjadi mudah dikuasai oleh tentara pengawal Turki. Kemudian khalifah Al-Watsiq
digantikan oleh Al-Mutawakkil sebagai khalifah besar terakhir, khalifah
sesudahnya umumnya lemah-lemah dan tidak dapat melawan tentara pengawal dan
Sultan-sultan yang menguasai ibu kota.
Ibu kota kembali dipindahkan ke
Baghdad oleh khalifah al-Mu’tadhid. Dari gambaran di atas terlihat bahwa,
Terdapat beberapa perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah 1) Dengan
ibukota Bagdad, pemerintahan menjadi jauh dari pengaruh Arab 2) Dalam stuktur
Negara, Bani Abbas terdapat Wazir ( Perdana menteri ) 3) Terbentuknya militer
professional pada Bani Abbas 4) Bani Abbas lebih menekankan kepada pembentukan
peradaban Islam dan perkembangan kebudayaan daripada ekspansi[12] Adapun
seluruh Khalifah Dinasti Bani Abbasiyah yang berkuasa berjumlah 37 orang,
diantaranya sebagai berikut:
[13] 1) Abu Abbas as-Saffah
132-136 H/749-754 M, 2) Abu Ja’far al-Mansur 136-158 H/754-775 M, 3) Abu
Abdullah Muhammad al-Mahdi 158-169 H/775-785 M, 4) Abu Muhammad Musa al- Hadi
169-170 H/785-786 M, 5) Abu Ja’far Harun ar- Rasyid 170-193 H/786-809 M 6) Abu
Musa Muhammad al- Amin 193-198 H/809-813 M 7) Abu Ja’far Abdullah al- Ma’mun
198-218 H/813-833 M 8) Abu Ishaq Muhammad al- Mu’tashim 218-227 H/833-842 M 9)
Abu Ja’far Harun al- Watsiq 227-232 H/842-847 M, 10)Abu Fadl Ja’far Muhammad
al-Mutawakkil 232-247 H/847-861 M 11)Abu Ja’far Muhammad al- Muntashir 247-248
H/861-862 M 12)Abu Abbas Ahmad al-Musta’in 248-252 H/862-866 M 13)Abu Abdullah
Muhammad al- Mu’tazz 252-255 H/866-869 M 14)Abu Ishaq Muhammad al- Muhtadi
255-256 H/869-870 M 15)Abu Abbas Ahmad al- Mu’tamid 256-279 H/870-892 M 16)Abu
Abbas Muhammad al- Mu’tadhid 279-289 H/892-902 M 17)Abu Muhammad Ali al-Muktafi
289-295 H/902-908 M 18)Abu Fadl Ja’far al-Muqtadir 295-320 H/908-932 M 19)Abu
Mansur Muhammad al- Qahir 320-322 H/932-934 M 20)Abu Abbas Ahmad ar-Radhi
322-329 H/934-940 M 21)Abu Ishaq Ibrahim al-Muttaqi 329-333 H/940-944 M 22)Abu
Qasim Abdullah al- Mustaqfi 333-334 H/944-946 M 23)Abu Qasim al-Fadl al-Mu’thi
334-363 H/946-974 M 24)Abu Fadl Abdul Kari math- Tha’I 363-381 H/974-991 M
25)Abu Abbas Ahmad al-Qadir 381-422 H/991-1031 M 26)Abu Ja’far Abdullah
al-Qa’im 422-467 H/1031-1075 M 27)Abu Qasim Abdullah al-muqtadi 467-487
H/1075-1094 M 28)Abu Abbas Ahmad al- Mustazhhir 487-512 H/1094-1118 M 29)Abu
Mansur al-Fadl al- Murtasyid 512-529 H/1118-1135 M 30)Abu Ja’far al-Mansur ar-
Rasyid 529-530 H/1135-1136 M 31)Abu Abdullah Muhammad al- Muqtafi 530-555
H/1136-1160 M 32)Abu Muzaffar al-Mustanjid 555-566 H/1160-1170 M 33)Abu
Muhammad al-Hasan al- Mustadhi’ 566-575 H/1170-1180 M, 34)Abu al-Abbas Ahmad
an-Nashir 575-622 H/1180-1225 M, 35)Abu Nasr Muhammad az- Zhahir 622-623
H/1225-1226 M, 36)Abu Ja’far al-Mansur al- Mustanshir 623-640 H/1226-1242 M
37)Abu Ahmad Abdullah al- Musta’shim 640-656 H/1242-1256 M
Khalifah dinasti Bani Abbasiyah
terakhir yaitu al-Musta’shim yang dibunuh oleh bangsa Mongoldi bawah pimpinan
Hulagu Khan yang menaklukkan Baghdad tahun 656 H/1258 M. Seorang pangeran
keturunan Abbasiyah berhasil lolos dari pembunuhan dan meneruskan khilafah
dengan gelar Khilafah yang berkuasa di bidang keagamaan saja di bawah kekuasaan
kaum Mamluk di Kairo, Mesir tanpa kekuasaan duniawi yang bergelar Sultan.
Para khalifah dinasti Bani
Abbasiyah yang ada di Mesir berjumlah 22 orang yaitu:[14] 1) Al-Mustanshir
659-660 H/1261-1261 M 2) Al-Hakim I 660-701 H/1261-1302 M 3) Al-Mustakfi I
701-740/1302-1340 M 4) Al-Watsiq I 740-741 H/1340-1341 M 5) Al-Hakim II 741-753
H/1341-1352 M 6) Al-Mu’tadhid 753-763 H/1352-1362 M 7) Al-Mutawakkil I 763-779
H/1362-1377,
pertama kali. 8) Al-Mu’tashim 779
H/1377 M, pertama kali. 9) Al-Mutawakkil I 779-785 H/1377-1383 M, kedua kali.
10)Al-Watsiq II 785-788 H/1383-1386 M 11)Al-Mu’tashim 788-791 H/1386-1389 M,
kedua kali. 12)Al-Mutawakkil I 791-808 H/1389-1406 M, ketiga kali.
13)Al-Musta’in 808-816 H/1406-1414 M 14)Al-Mu’tadhid II 816-845 H/1414-1441 M
15)Al-Mustakfi II 845-855 H/1441-1451 M 16)Al-Qa’im 855-859 H/1451-14-79 M
17)Al-Mustanjid 859-884 H/1455-1479 M 18)Al-Mutawakkil II 884-903 H/1479-1497 M
19)Al-Mustamsik 903-914 H/1497-1508 M, pertama kali. 20)Al-Mutawakkil III
914-922 H/1508-1516 M, pertama kali. 21)Al-Mustamsik 922-923 H/1516-1517 M,
kedua kali. 22)Al-Mutawakkil III 923 H/1517 M, kedua kali. Jabatan khalifah
yang di sandangoleh keturunan Abbasiyyah di Mesir berakhir ketika diambul oleh
Sultan Salim I dari Turki Utsmani yang menguasai Mesir pada tahun 923 H/1517 M.
Sejak saat itu, hilanglah Khalifah Abbasiyah untuk selama-lamanya. B. Ilmu-Ilmu
Yang
Dikembangkan
Pada Masa
Dinasti Bani Abbasiyah Pada masa
Bani Abbasiyah, ilmu dibedakan menjadi dua yaitu ilmu naqli dan ilmu aqli.[15]
Dengan klasifikasinya sebagai berikut: Ilmu Naqli 1) Ilmu Tafsir Tafsir bi
al-Ma’tsur (metode penafsiran oleh sekelompok mufassir dengan cara memberi
interpretasi al-Qur’an dengan hadis dan penjelasan para sahabat besarm,
termasuk pendapat ahli kitab yang sudah masuk Islam dan pendapat orang yang
menguasai kitab Taurat dan Injil). Tokohnya adalah Ibnu Jarir Ath Thabari
dengan karyanya Jami al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an terdiri dari 30 Juz, al- Suda
(w. 127 H) menyandarkan tafsirnya kepada Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan
sahabat-sahabat lainnya serta Muqotil Ibn Sulaiman yang menyandarkan tafsirnya
kepada para sahabat yang mengutip dari Taurat yang diriwayatkan oleh orang
Yahudi. Tafsir Diroyah/Tafsir bi al-Ra’yi/ Tafsir bi al-Aqli (menafsiran al-
Qur’an dengan menggunakan akal lebih banyak daripada al- Hadis).
Tokohnya adalah Abu Bakar
al-Asham (w. 240 H), Abu Muslim Muhammad Ibn Baadr al- Ishfahani (w. 322 H)
dengan tafsirnya Jami’ut Ta’wil 14 jilid, Ibn Jaru al-Asadi (w. 387 H), ar-
Razy dengan tafsirnya Al- Muqthathaf, dan lain-lain. Mereka menganut paham
Mu’tazilah. [16] 2) Ilmu Hadis Tokohnya adalah al-Aimmah al- Sittah (imam yang
enam) yaitu al-Bukhari, (194-256 H) dengan kitabnya al-Jami al-Shahih dan Tarikh
al-Kabir, al-Muslim (204-261 H) dengan kitabnya al- Jami Shahih Muslim, Ibnu
Majjah (209-273 H) dengan kitabnya Sunan Ibnu Majjah, Abu Dawud (202-275 H)
dengan kitabnya Sunan Abi Dawud, al-Tarmidzi (wafat 279 H) dengan kitabnya
Sunan al-Tirmidzi, dan al-Nasa’I (225-303 H) dengan kitabnya Sunan al-Nasa’i.
3) Ilmu Fiqih Tokohnya adalah Abu Hanifah al- Nu’man Ibn Sabit (700-767 M)
dengan kitabnya Musnad al-
Imam al-A’dhom atau Fiqh
al-Akbar, Malik Ibn Anas (713-795 M) dengan kitabnya al-Muwatha, Muhammad Ibn
Idris al-Syafi’i (767-820 M) dengan kitabnya al- Risalah, dan Ahmad Ibn Hambal
(780—855 M) dengan kitabnya al-Musnad. Para fuqaha terbagi menjadi dua
golongan, yaitu: Ahl al-Hadis yaitu golongan yang menyandarkan kepada hadis
dalam mengambil hukum, pemukanya Ahmad Ibn Hambal dengan karyanya Musnad Ahmad
ibn Hanbal Ahl al-Ra’yi yaitu golongan yang menggunakan akal di dalam menggali
hukum, pemukanya Abu Hanifah. 4) Ilmu Tasawuf atau Mistisisme Islam Tokohnya
adalah Abu Bakr Muhammad al-Kalabadi dengan karyanya al-Ta’arruf li Mazhab
al-Allaf, Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M) dengan karyanya Ihya ‘Ulum al-Din,
Abu Nasr as- Sarraj al-Tusi dengan karyanya al-Luma’, dan lain-lain. 5) Ilmu
Kalama tau Theologi Tokohnya adalah dari kalangan Mu’tazilah adalah Washil bin
Atha’ (w. 748 M), al-Nazam (185-221 H), dan al-Jahir (w. 256 H), sedangkan
golongan dari Ahli Sunnah seperti Abu al-Hasan al- Asy’ari (873-935 M), Abu
Hamid al-Ghazali (1058-1111 M) , dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 944 H). 6) Ilmu
Tarikh atau Sejarah Tokohnya adalah Ibnu Hasyim (abad ke 8), Ibn Sa’d (abad ke
9), dan Abu Ja’far Muhammad at-Tabari (835-923 M) karyanya Kitab Akhbarul Rasul
wa Mulk (The Book of the Annals of Prophets and Kings) tentang sejaarh manusia
hingga tahun 913, Firdawsi (penyair dan Bapak Sejarah Persia) karyanya Book of
Kings (Shah-Namah), Ibnu Khaldun (1332-1406 M) ahli dalam teori pendidikan,
karyanya Muqaddimah. 7) Ilmu Bahasa, Ilmu Tata Bahasa, Ilmu Al-Qori’ah, dan
Ilmu Agama Lainya Tokohnya adalah al-Kindi (801-873 M), Ibn Sina (980-1037 M),
al-Farabi (870-950 M), al-Razi (865-925 M), Ibn Miskawaih (932-1030 M), dan
al-Ghazali (1058-1111 M). 8) Ilmu Sastra Tokohnya adalah Abu al-Farraj
al-Isfahani dengan karyanya Kitab al-Aghani, Firdawsi dari Tus,karya puisinya
Shah-Namah (Book of Kings) merupakan karya
Sastra monumental terdiri dari
60.000 kuplet (120.000 baris), dan Al-Jasyiari dengan karyanya Alf Lailat wa
Laila atau One Thousand Nigh and One (Seribu Satu Malam) di pertengahan abad ke
9. 9) Ilmu Falak Tokohnya adalah Muhammad al- Fazzari (w.158 H) yang dipandang
ahli falak Islam yang awal sekali dan menerjemah buku al-Sind Hind yang
dianggap orang karangan Rahma Sidhanta yang mengandung banyak info mengenai
falak dan matematik. [17] Ilmu Aqli 1) Ilmu Kedokteran Tokohnya adalah al-Razi
(Rhazes) (865-925 M), karyanya Al-Hawi (Continens) (30 jilid), al-A’sah (The
Nerves), dan al-Jami (The Universal) menuliskan filsafat, teologi, matematika,
astronomi, dan ilmu pengetahuan alam, dan Ibn Sina (Avicenna) (980-1037 M)
mengembangkang ilmu pengatahuan Hippocrates dan Galen maupun filsafat
Aristoteles dan Plato yang berpengaruh terhadap alam berfikir Timur dan
Barat.[18]
2) Ilmu Kimia Tokohnya adalah
Jabir Ibn Hayyan yang berpendapat bahwa logam seperti timah, besi, dan tembaga
dapat diubah menjadi emas atau perak dengan menggunakan obat rahasia. Ia
mengetahui cara membuat asam belerang, asam sendawa, dan aqua regia yang dapat
menghancurkan emas dan perak.
3) Ilmu Astronomi Tokohnya adalah
Al-Biruni dengan kitabnya al-Hind dan al- Qanun al-Mas’udl fi al-Hai’a wa
al-Nuju. Ia secara akurat menentukan garis lintang dan garis bujur, mengukur
secara teliti gaya berat khusus terhadap 18 batu dan logam mulia serta
menguraikan kerja mata air alami sumur-sumur artesis, Nasiruddin Tusi menyusun
table astronomi Ilkanian (Zij), menulis tentang astronomi dan kalender,
matematika, dan geomancy, dan Qutubuddin Shirazi menulis pandangan terhadap
alam, optic geometris, dan pelangi.
4) Ilmu Matematika Tokohnya
adalah al-Khawarizmi menemukan angka 0 pada abad ke 9. Sedangkam angka 1-9
berasal dari Hindu di India. Kemudian Abul Wafa (940-997 M) ahli
matematika-astronom dari Persia, sebagai orang pertama yang menunjukkan keadaan
umum dari teorema relativitas sinus segitiga yang berhubungan dengan bentuk bola,
table susunan sinus, tangens, table kalkulasi tangens, memperkenalkan secant
dan cosecant dan contoh hubungan antara enam garis trigonometric.
5) Ilmu Optik Tokohnya adalah Ali
al-Hasan Ibn Haitsam (Alhaze) menulis buku tentang Optical Thesaurus, mengoreksi
teori Euclid dan Ptolemy.
6) Ilmu Fisika Tokohnya adalah
Al-Bakhi (934 M) karyanya dijadikan dasar dan prinsip karya-karya geografi
setelahnya oleh al-Istakhir (950 M), Ibnu Hawqal (975 M) dan al- Maqdisi (985M)
dan al-Biruni menulis deskripsi tentang India, dan Nasiri Khusraw, penulis
otobiografi-geografis abad ke 9 menulis Diwan, Safar-Namah (Book of Trave) dan
Rawshanai- Namah (Book of Light)
7) Geografis Tokohnya
adalah Abu al-Hasan Ali al-Mas’ud (abad ke 10) menulis buku Maruj al-Zahab
tentang geografi, agama, adat istiadat dan lain-lain, dan Zamankhsyari (w.1144
M) seorang Persia, menulis Kitabul Amkina wal JIbal wal Miyah (The Book of
Places, Mountains and Waters). C. Pendidikan Islam
Pada
Masa Dinasti Bani
Abbasiyah
Lembaga Pendidikan Pada
Masa Dinasti Abbasiyah Lembaga
pendidikan pada masa Abbasiyah terdiri dari dua tingkatan,[19] yaitu:
1) Maktab atau kutub atau masjid,
yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar bacaan,
hitungan, dan tulisan serta tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama,
seperti Tafsir, Hadis, fiqih, dan bahasa
2) Tingkat pendalaman, para
pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu
kepada seseorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Lembaga
pendidikan pada masa Bani Abbasiyah disimbolkan dengan berdirinya perpustakaan
dan akademi. Perpustakaan pada masa Bani Abbasiyah merupakan sebuah
universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab disana juga orang dapat
membaca, menulis dan berdiskusi. Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban untuk
semua laki-laki dan perempuan. Pada masa Bani Abbas, anak-anak perempuan hanya
belajar di rumah saja.
Mereka tidak diizinkan pergi ke
maktab atau masjid untuk belajar. Itu pun bagi yang mampu memanggil guru ke rumahnya
dan bagi yang tidak mampu maka mereka tidak belajar. Perkembangan lembaga
pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik
sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak masa Bani Umayyah maupun
sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu ditentukan oleh
dua hal, yaitu:
1) Terjadinya asimilasi antara
bangsa Arab dengan bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam
bidang ilmu pengetahuan, misalnya pengaruh Persia terlihat dalam bidang
pemerintahan, filsafat dan sastra, sedangkan pengaruh India dalam bidang
kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi.
2) Gerakan terjemahan berlangsung
tiga fase,[20] yaitu: a) Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga
Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang lebih banyak diterjemahkan adalah
karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. b) Fase kedua, berlangsung mulai
masa khalifah al-Mm’mun hingga tahun 300H. buku-buku yang banyak diterjemahkan
adalah dalam bidang filsafat, dan kedokteran. c) Fase ketiga, berlangsung
setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang
ilmu yang diterjemahkan semakin meluas. D. Proses Runtuhnya Dinasti Bani
Abbasiyah Setelah mengalami kemajuan, dinasti Bani Abbasiyah mengalami
kemunduran dan kehancuran yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Adapun faktor internal,[21] yaitu:
1) Lemahnya Khalifah Sejak
berakhirnya kekuasaan dinasti Saljuk atas Baghdad, khalifah Abbasiyah merdeka
kembali, namun kekuasaannya hanya di daerah Baghdad saja. Sementara itu,
wilayah Abbasiyah lainnya diperintah oleh dinasti- dinasti kecil yang tersebar
di sebelah timur dan barat Baghdad. Khalifah dinasti Bani Abbasiyah di Baghdad
berhasil mengambil kesempatan dari kelemahan kaum Saljuk dan dari
gerakan-gerakan pemisahan serta mengumumkan kemerdekaannya memerintah Baghdad
dan kawasan-kawasan sekitarnya. Usaha untuk mengembalikan kekuasaan khalifah
dinasti Bani Abbasiyah ini dirintis oleh khalifah al- Mustarsyid (512-529
H/1118-1135 M), kemudian dilanjutkan oleh anaknya, khalifah al-Rasyid (529-530
H/1135-1136 M) dan dilanjutkan oleh khalifah al-Muqtafi (530-555 H/1136-1160
M). Dengan demikian, sejak masa itu khalifah Bani Abbasiyah mempunyai pengaruh
kembali, meskipun dalam wilayah yang terbatas.
2) Persaingan antar bangsa Adanya
kecenderungan bangsa- bangsa Maroko, Mesir, Syia, Irak, Persia, Turki, dan
India, untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak Abbasiyah berdiri.
Periode I, pengaruh Persia, periode II, pengaruh Turki, Periode III, pengaruh
Persia II, periode IV, pengaruh Turki II, dan periode V, bebas pengaruh tetapi
hanya di Baghdad saja.
3) Kemerosotan ekonomi Pada
periode kemunduran, pendapatan Negara menurun sementara pengeluaran meningkat
lebih besar. Hal ini disebabkan wilayah kekuasaannya semakin menyempit, banyak
terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingankannya pajak,
dan banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri tidak lagi membayar upeti.
4) Konflik keagamaan Kekecewaan
orang Persia terhadap cita-cita yang tak tercapai mendorong sebagian mereka
mempropagandakan ajaran Mazuisme, Zoroasterisme, dan Mazzdakisme. Antara orang
beriman dan kaum zindik terjadi konflik bersenjata seperti gerakan al-Afsyn dan
Qaramitah. Adanya konflik Syiah dan Ahlussunnah. Terjadi Mihnah pada masa
al-Ma’mun (813-833 M) yang menjadikan Mu’tazilah menjadi mazhab resmi Negara.
Al- Mutawakkil (847-861 M) menghapus Mu’tazilah digantikan dengan golongan
Salaf pengikut Hambali yang tidak toleran terhadap Mu’tazilah yang rasional,
menyempitkan horizon intelektual. Mu’tazilah bangkit kembali pada masa Buwaihi
dan Saljuk, Asy’ariah menyingkirkan Mu’tazilah yang didukung al-Ghazali tidak
menguntungkan bagi pengembangan kreativitas entelektual Islam. Sementara itu,
faktor eksternal kemunduran dinasti Bani Abbasiyah,[22] yaitu:
1) Perang Salib Perang antara
umat Kristen dengan umat Islam yang berlangsung dari tahun 1095-1291 M, telah
menelan banyak korban jiwa, ini menyebabkan khilafah Bani Abbasiyah menjadi
lemah.
2) Serangan Hulagu Khan Hulagu
Khan, cucu Jengis Khan, melakukan serangan-serangan menuju Baghdad dengan
mengalahkan Khurasan di Persia dan Hasysyasyin di Alamut terlebih dahulu. Pada
tanggal 10 Februari 656 H/1258 M, ia dan pasukannya sampai ke tepi kota
Baghdad. Perintah untuk menyerah ditolak oleh khalifah al-Musta’shim (khalifah
terakhir Bani Abbasiyyah), sehingga Baghdad dikepung dan dihancurkan.
Disusun
oleh Ahsanul jaja. S