Manusia telah lama mengenal perang. Dalam satu generasi, mungkin
lebih dari satu peperangan terjadi. Berbagai motif dan tujuan menjadi
pemicunya. Bahkan generasi berikut sudah tidak mengerti alasan apa yang
membuat mereka angkat senjata. Dalam perang, masing-masing kelompok
mengatur strategi bagaimana menggapai kemenangan. Bagaimana menumpas
musuh agar mereka terkalahkan. Tidak kita jumpai, satu kelompok atau
kepercayaan yang membuat aturan baku tentang akhlak dan adab di medan
tempur, kecuali Islam. Ya, kecuali Islam.
Berakhlak Meskipun Terhadap Musuh
Kalau akhir-akhir ini Anda menyaksikan tingkah polah ISIS, maka buang
dulu jauh-jauh hal itu dari benak Anda. Karena seluruh kaum muslimin
–kecuali simpatisan ISIS- sepakat, kelompok kecil ini tidak mewakili
Islam.
Akhlak yang baik, berlemah-lembut kepada manusia, menyayangi yang
lemah, saling toleransi antar tetangga, dll. dalam kondisi damai, banyak
atau bahkan semua bisa melakukannya. Adapun berbuat baik kepada musuh
di saat perang, lemah lembut terhadap mereka, menyayangi wanita,
anak-anak, dan orang tua, serta tidak menindas mereka yang kalah, tidak
semua bisa melakukannya. Tidak semua panglima perang dikenal mampu
mempraktikannya.
Rasulullah ﷺ sebagai panglima tertinggi, pernah marah besar kepada
Usamah bin Zaid, yang meneruskan hujaman pedangnya kepada seseorang yang
mengucapkan laa ilaaha illallaah. Orang tersebut mengucapkan
kalimat tauhid setelah sebelumnya bertarung, bernafsu membunuh Usamah.
Saat terdesak dan tak berdaya, ia ucapkan kalimat itu. Gejolak
pertarungan dan hiruk pikuk suasana peperangan membuat Usamah tetap
menghujamkan pedangnya kepada orang itu. Dan Rasulullah ﷺ marah besar
mendengar kabar tersebut. Meskipun Usamah termasuk orang kesayangan
beliau ﷺ.
Sekiranya, para penulis sejarah –dari kalangan orientalis- mau jujur
tentu tidak ada ruang keraguan akan tingginya akhlak dan adab Islam
dalam peperangan.
Islam memang mengajarkan perang dalam kondisi, sebab, dan tujuan
tertentu. Namun Islam tidak membiarkan emosi manusia tak terarah dalam
peperangan. Sehingga mereka melakukan apapun yang mereka inginkan demi
mencapai kemenagan. Perang dalam Islam ada hukum dan aturannya. Di
antara aturan tersebut adalah:
Pertama: Tidak boleh membunuh perempuan, orang tua, dan anak-anak.
Rasulullah ﷺ berpesan kepada para panglima perangnya agar bertakwa
dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. Berpegang kepada akhlak
dalam peperangan. Di antaranya, beliau ﷺ memerintah mereka tidak
membunuh anak-anak. Diriwayatkan dari Buraidah radhiallahu ‘anhu, ia
berkata, “Rasulullah ﷺ mewasiatkan kepada panglima perang atau pasukan,
yang pertama agar ia dan pasukannya bertakwa kepada Allah. Di antara
yang beliau katakan adalah “…jangan kalian membunuh anak-anak…” (HR.
Muslim, 1731). Dalam riwayat Abu Dawud, Rasulullah ﷺ bersabda,
وَلاَ تَقْتُلُوا شَيْخًا فَانِيًا، وَلاَ طِفْلاً، وَلاَ صَغِيرًا، وَلاَ امْرَأَةً…
“Janganlah kalian membunuh orang tua yang sudah sepuh, anak-anak, dan
wanita…” (HR. Abu Dawud 2614, Ibnu Abi Syaibah 6/438, dan al-Baihaqi
dalam Sunan al-Kubra 17932).
Kedua: Tidak boleh membunuh para rahib.
Apabila Rasulullah ﷺ hendak memberangkatkan pasukan, beliau berpesan kepada mereka,
لاَ تَقْتُلُوا أَصْحَابَ الصَّوَامِعِ
“Janganlah kalian membunuh pemilik bihara (rahib).”
Beliau ﷺ berwasiat kepada pasukan yang hendak diberangkatkan menuju Mu’tah,
اغْزُوا بِاسْمِ اللهِ فِي سَبِيلِ اللهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ،
اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا، وَلَا تَغْدِرُوا، وَلَا تَمْثُلُوا
“Berangkatlah berperang di jalan Allah dengan menyebut nama Allah.
Bunuhlah orang-orang kafir. Perangilah mereka. Janganlah kamu berbuat
curang dan jangan melanggar perjanjian, dan jangan pula kalian
memutilasi mayat.” (HR. Muslim, no. 1731).
اغْزُوا بِاسْمِ اللهِ فِي سَبِيلِ اللهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ،
اغْزُوا وَلاَ تَغُلُّوا، وَلاَ تَغْدِرُوا، وَلاَ تُـمَثِّلوا،
وَلاَ تَقْتُلُوا وَلِيدًا، أَوِ امْرَأَةً، وَلا كَبِيرًا فَانِيًا، وَلا
مُنْعَزِلاً بِصَوْمَعَةٍ
“Berperanglah dengan menyebut nama Allah dan di jalan Allah.
Perangilah mereka yang kufur kepada Allah. Berperanglah, jangan kalian
berlebihan (dalam membunuh). Jangan kalian lari dari medan perang,
jangan kalian memutilasi, jangan membunuh anak-anak, perempuan, orang
tua yang sepuh, dan rahib di tempat ibadahnya.” (HR. Muslim 1731, Abu
Dawud 2613, at-Tirmidzi 1408, dan al-Baihaqi 17935).
Ketiga: Jangan lari dari medan perang.
Rasulullah ﷺ juga memberikan wasiat yang berkenaan dengan diri pasukan sendiri. Beliau ﷺ bersabda,
“…وَلاَ تَغْدِرُوا…”
“…jangan kalian lari dari medan perang…” (HR. Muslim 1731, Abu Dawud 2613, at-Tirmidzi 1408, dan Ibnu Majah 2857).
Rasulullah ﷺ berwasiat kepada para sahabatnya agar tidak gentar dan
pengecut di medan perang. Beliau ﷺ berlepas diri dari mereka yang lari
dari peperangan, walaupun mereka pasukan Islam. Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ أَمَّن رَجُلاً عَلَى دَمّهِ فَقَتَلَهُ، فَأنَا بَرِيءٌ مِنَ القَاتِل، وَإِنْ كَانَ المَقْتُولُ كَافِرًا
“Seorang non muslim yang dijamin darahnya (dijanjikan tidak
diperangi), lalu (seorang muslim) membunuhnya, maka aku berlepas diri
dari si pembunuh. Walaupun yang ia bunuh adalah seorang non muslim.”
(HR. al-Bukhari 3/322).
Didikan Rasulullah ﷺ ini sangat berpengaruh di hati para sahabatnya.
Pada masa Kekhalifahan Umar bin al-Khattab, ada seorang mujahid yang
berkata kepada pasukan Persia “Jangan takut”, kemudian ia membunuhnya.
Umar pun menulis surat kepada pimpinan pasukan, “Telah sampai kabar
kepadaku bahwa salah seorang dari kalian mengincar seorang non muslim.
Pada saat non muslim tersebut terdesak di atas gunung, lalu berusaha
membela diri, si muslim berkata, “Jangan takut”. Namun kemudian ia
membunuhnya. Demi Allah, janganlah sampai kepadaku kabar demikian
kecuali aku penggal lehernya.” (al-Muwatha, Riwayat Yahya al-Laitsi 967
dan al-Baihaqi 5652).
Keempat: Tidak membuat kerusakan di bumi.
Silahkan Anda baca sejarah, akan Anda dapati bahwa peperangan umat
Islam bukanlah perang yang merusak seperti peperangan modern sekarang.
Kita saksikan dengan mata kita sendiri orang-orang non Islam begitu
berhasrat membunuhi kaum muslimin. Sehingga banyak kaum muslimin yang
tak bersenjata dan tidak turut serta dalam peperangan, menjadi
pengungsi.
Perintah Abu Bakar ash-Shiddiq sangat jelas kepada pasukan yang ia
berangkatkan menuju Syam, ia berkata, “Jangan membuat kerusakan di muka
bumi…”. Wasiatnya yang lain kepada pasukannya:
وَلا تُغْرِقُنَّ نَخْلاً وَلا تَحْرِقُنَّهَا، وَلا تَعْقِرُوا بَهِيمَةً، وَلا شَجَرَةً تُثْمِرُ، وَلا تَهْدِمُوا بَيْعَةً
“Jangan sekali-kali menebang pohon kurma, jangan pula membakarnya,
jangan membunuh hewan-hewan ternak, jangan tebang pohon yang berbuah,
janganlah kalian merobohkan bangunan,…” (Riwayat al-Baihaqi dalam
Sunanul Kubra 17904, Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 2/75, dan
ath-Thahawi dalam Syarah Musykilul Atsar 3/144).
Adakah pimpinan perang yang memerintahkan pasukannya berbuat
demikian? Adakah agama yang mengajarkan kasih sayang sampai-sampai dalam
peperangan seperti yang diajarkan Islam? Tentu tidak ada. Seandainya
para orientalis jujur dalam menuliskan sejarah dan sikap umat Islam
dalam peperangan, niscaya orang-orang akan malu menuduh agama Islam
agama bar-bar.
Inilah bimbingan Islam. Walaupun dalam peperangan, Islam melarang
melakukan pengrusakan. Islam mengajarkan demikian, agar para panglima
perang tidak berpikiran bahwa peperangan membolehkan pengerusakan.
Kelima: Berinfak kepada tawanan.
Berinfak atau memberi tawanan sesuatu yang tidak membuat mereka
begitu menderita dianjurkan dalam Islam. Mereka dalam keadaan lemah dan
terpisah dari keluarga, tentu memberi makanan, minuman, dan hal-hal yang
layak didapatkan manusia dapat meringankan beban mereka. allah ﷻ
berfirman,
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin,
anak yatim, dan orang yang ditawan.” (QS:Al-Insaan | Ayat: 8).
Sedikit banyak, Anda tahu apa yang terjadi di Penjara Guantanamo dan
Abu Ghraib, bagaimana tawanan-tawanan kaum muslimin diperlakukan? Namun
tanpa rasa malu mereka sebut mereka adalah penjaga kedamaian, menjunjung
nilai-nilai kemanusiaan, lalu mereka tuduh Islam sebagai agama yang
kejam. Tidak malukah mereka?
Keenam: Tidak boleh memutilasi mayat.
Rasulullah ﷺ melarang memutilasi mayat walaupun musuh dalam peperangan. Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid, ia berkata,
نَهَى النَّبِيُّ عَنِ النُّهْبَى، وَالمُثْلَةِ
“Nabi melarang perampasan dan memutilasi (musuh).” (HR. al-Bukhari
2342, ath-Thayalisi dalam Musnad-nya 1070, dan al-Baihaqi dalam Sunanul
Kubra 14452).
Imran bin Hushain mengatakan,
كَانَ النَّبِيُّ يَحُثُّنَا عَلَى الصَّدَقَةِ، وَيَنْهَانَا عَنِ المُثْلَةِ
“Nabi ﷺ memotivasi kamu untuk bertindak benar dan melarang kami
memutilasi (musuh).” (HR. Abu Dawud dalam Kitabul Jihad 2667, Ahmad
20010, Ibnu Hibban 5616, dan Abdurrazzaq 15819. Al-Albani mengomentarai
hadits ini adalah hadits shahih di Irwaul Ghalil 2230).
Meskipun orang-orang musyrik memutilasi paman beliau ﷺ, Hamzah, di
Perang Uhud, namun beliau tidak mau membalas perlakuan tersebut di
peperangan selanjutnya. Bahkan beliau mengancam keras umat Islam yang
melakukan mutilasi. Nabi ﷺ bersabda,
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ قَتَلَهُ نَبِيٌّ،
أَوْ قَتَلَ نَبِيًّا، وَإِمَامُ ضَلاَلَةٍ، وَمُمَثِّلٌ مِنَ
الْـمُمَثِّلِينَ
“Manusia yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah seseorang
yang dibunuh oleh seorang nabi, orang yang membunuh seorang nabi,
pemimpin kesesatan, dan orang yang memutilasi.” (HR. Ahmad 3868,
lafadznya sihasankan oleh Syu’aib al-Arnauth, ath-Thabrani dalam
al-Kabir 10497, al-Bazar 1728. Al-Albani mengomentari hadits ini shahih
dalam as-Silsilah ash-Shahiha 281).
Dan tidak diriwayatkan dalam sejarah Rasulullah ﷺ satu kejadian pun bahwa umat Islam memutilasi musuh-musuh mereka.
Sebagian besar tulisan ini adalah terjemahan dari tulisan DR. Raghib as-Sirjani yang berjudul Akhlaqiyat al-Hurub fi al-Islam.