Ayahnya, M. Saad Ali juga seorang PNS yang sering mengisi khutbah dan
ceramah. Kalau sedang mengisi ceramah di berbagai tempat, Muflih kerap
ikut menemani sekaligus mendengarkan ceramah ayahnya. “Sejak kecil saya
sering ikut kegiatan Islami, seperti MTQ dan ceramah. Saat Ramadhan
tiba, ayah saya sering mengajak saya keliling berceramah,” ujar Muflih.
Setelah lulus sekolah, ia melanjutkan kuliah di salah satu perguruan
tinggi di Yogyakarta. Ia menyelesaikan studi dalam waktu 3 tahun 5 bulan
dengan IPK 3,89 (cumlaude).
Setelah itu, untuk membahagiakan orang tua, Muflih mengikuti jejak
karir kedua orangtuanya, mengabdi sebagai PNS di Pemkot Balikpapan.
Namun keinginannya yang kuat untuk mensyiarkan agama tidak lantas
berhenti. Ia tetap menyempatkan waktunya untuk berdakwah sepulang
bekerja.
“Biasanya mengisi dakwah saat Maghrib, Isya atau saat Subuh.” Di mata
lelaki kelahiran Balikpapan 19 Juli 1984 ini, menjadi pendakwah
merupakan anugerah dari Allah sekaligus ladang pahala untuk tabungan
akhirat.
Tahun 2010, Muflih meraih juara 1 lomba menghafal Al-Qur’an untuk PNS
Kota Balikpapan dan mendapatkan hadiah umroh dari pemerintah. Sepulang
dari umroh, ia mendapatkan beasiswa magister di King Saud University,
Arab Saudi.
Ia pun kembali menginjakkan kaki di negeri Nabi 5 bulan kemudian.
“Adalah kesempatan yang luar biasa kita bisa sekolah S2 sekaligus
belajar dengan masyaikh dan ulama-ulama internasional. Kita bisa menimba
lebih banyak ilmu agama,” ujarnya.
Berkat rahmat Allah, Muflih menyelesaikan pendidikan S2 dengan masa
studi tercepat dan IPK tertinggi di antara mahasiswa seangkatan.
Awal 2014 setelah lulus ia pulang ke Balikpapan. Namun saat kembali
menjadi PNS, Muflih merasa belum maksimal mendakwahkan ilmu yang ia
dapat semasa kuliah di Arab Saudi. Apalagi menjelang Ramadhan, Muflih
diminta banyak pengurus masjid dan majelis ilmu untuk mengisi kajian
selama bulan puasa.
“Waktu saya untuk berdakwah dan mengajarkan ilmu agama sangat
terbatas. Sementara di jam kerja saya tidak bisa berdakwah. Sedangkan
permintaan untuk mengisi kajian Ramadhan semakin banyak,” katanya.
Muflih yang saat itu sudah golongan III B akhirnya memutuskan berhenti
menjadi PNS dan fokus untuk berbagi ilmu dalam dakwah.
“Orangtua dan istri sangat mendukung langkah ini. Bahkan ayah saya
meyakinkan, jangan takut kehilangan rejeki karena sudah diatur Allah
SWT. Kalau nanti diminta mengembalikan gaji, bapak mengatakan akan bantu
cari dananya,” katanya. Seminggu sebelum Ramadhan tahun lalu, ia
mengundurkan diri sebagai PNS.
Sebagai konsekuensi, Muflih diwajibkan membayar Rp 87 juta sebagai
bentuk pengembalian gaji yang ia terima semasa kuliah di Arab Saudi,
karena teranggap tidak mengabdi di pemerintah. “Ketika itu saya belum
punya uang. Maka saya mengajukan penghapusan pengembalian tersebut,
walau mungkin ditolak.
Saya menyadari, seandainya ditolak pun tidak mengapa karena memang
itu hak pemerintah sekaligus tanggung jawab saya. Seandainya harus
membayar, ibarat membeli pahala Ramadhan Rp 87 juta,” ucapnya. Tak
disangka pertolongan Allah datang. Seorang kawan yang juga jamaahnya
bersedia membantu Muflih untuk mengembalikan gajinya kepada negara.
“Walaupun status bantuannya hutang yang akan saya cicil kepada teman,
setidaknya tanggungan terasa lebih ringan dan saya pun tambah yakin
bahwa dakwah ini adalah jalan hidup saya,” katanya.
Penulis: M Abduh Kuddu
Editor: M Abduh Kuddu
Sumber: Tribun Kaltim
Editor: M Abduh Kuddu
Sumber: Tribun Kaltim