Perbuatan menipu merupakan salah satu penyakit yang
merusak hubungan mu’amalat. Perbuatan ini akan mengakibatkan hilangnya rasa
saling mempercayai antara sesama. Apabila kepercayaan sudah tidak ada di antara
masyakat, maka rasa syak wasangka, egois dan dendam akan merajalela dalam tubuh
masyarakat, dan rasa saling tolong menolong pun akan lenyap. Padahal kita telah
mengetahui bahwa tolong-menolong ini adalah faktor terpenting bagi
terselenggaranya hubungan mu’amalah yang sehat, dan dapat menghantarkan
masyarakat ke arah kemajuan.
Ada salah satu riwayat yang mengatakan bahwa
Rasulullah SAW pernah lewat di pasar lalu menjumpai tumpukan makanan. Beliau
memasukkan tangannya ke dalam makanan tersebut, tiba-tiba terasa tangannya
menyentuh sesuatu yang basah dalam tumpukan makanan tersebut. Beliau lalu
bertanya kepada pedagang makanan tersebut : “Apa yang basah-basah ini hai kau
yang mempunyai makanan ini?”. Apa yang basah-basah ini hai kauu yang mempunyai
makanan ini?”. Pedagang menjawab : “Wahai Rasulullah, makanan itu terkena air
hujan”. Mendengar jawabannya itu
Rasulullah SAW bersabda : افلا جعلته فوق الطعام كى
يراه الناس؟ من غش فليس منا (رواه مسلم و ترمذى) “Kenapa engkau tidak
meletakkannya di atas agar bisa dilihat oleh pembeli? Barang siapa yang menipu,
ia bukan termasuk golonganku. (Hadits riwayat Muslim dan Turmudzi)”
Fungsi mu’amalah pekerjaan yang dikecam oleh Nabi.
Siapa saja untuk melakukan pekerjaan menipu berarti ia memasuki cara yang
berseberangan dengan jalan yang dipakai kaum muslimin. Sedangkan Rasulullah
mengecam pelakunya bukan termasuk golongan muslimin.
Dan termasuk dalam kategori menipu ialah seseorang
menjual barang miliknya yang cacat, tetapi ia tidak menjelaskannya kepada
pembeli. Dalam menanggapi hal semacam ini Rasulullah SAW bersabda :
المسلم أخوالمسلم, ولا يحل لمسلم اذا باع من اخيه
بيعا (رواه الامام احمد وابن ماجه)
“Sesama muslim adalah saudara. Oleh karena itu,
seseorang tidak boleh menjual barang yang ada cacatnya kepada saudaranya
kemudian ia tidak menjelaskan cacat tersebut (Hadits riwayat Ahmad dan Ibnu
Majah).
Gejala-gejala penipuan yang telah tersiar di negara
kami ialah apa yang dilakukan oleh kebanyakan para pedagang buah-buahan dan
sayur-sayuran. Mereka meletakkan buah-buahan atau sayur-sayuran yang masih
segar di atas tumpukan sedangkan yang sudah basi mereka letakkan di bawah
sehingga para pembeli tidak melihatnya. Gejala semacam ini harus diberantas dan
kita harus memberi tindakan yang tegas pada mereka yang coba-coba berani
melakukan hal ini, agar dijadikan pelajaran bagi yang lainnya. Islam
menghendaki agar kejujuran dalam mu’amalah tertanam dalam jiwa kaum muslimin di
mana pun mereka berada.
Islam menghendaki agar penjual mengatakan terus terang
kepada para pembelinya, dan ia harus berlaku seolah-olah barang yang akan
dijualnya itu untuk dirinya sendiri.
Untuk itu Rasulullah SAW bersabda :
الدين النصيحة (رواه النسائى
“Agama adalah nasihat” (Hadits riwayat
An-Nasa’i).
Dan dalam lain kesempatan beliau bersabda pula :
لا يؤمن احدكم حتى يحب لاخيه ما يحب لنفسه (رواه
البخارى و مسلم
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu kecuali
apabila ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri” (Hadits
riwayat Bukhari dan Muslim).
Termasuk di antara perbuatan menipu ialah mengurangi
timbangan dan tidak memberikan hak yang sebenarnya kepada para pembeli. Allah
telah berfirman : “Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus” (QS. 26 :
182).
Allah mengancam kepada orang yang melakukan
pengurangan dalam memberikan timbangan, karena perbuatan ini berarti mengurangi
hak orang lain. Ancaman Allah berupa siksaan yang kelak harus mereka terima
sesudah dilakukannya perhitungan dengan mereka di hari kiamat nanti. Kelak di
hari kiamat, Allah akan membangkitkan mereka dari kuburnya masing-masing untuk
menerima balasan atas segala amal perbuatan yang mereka lakukan di dunia.
Allah telah berfirman : “Kecelakaan besarlah bagi
orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa
sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari
(ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam ini”. (QS. 83 :
1-6).
Al-Qur’an telah menuturkan kepada kita kisah-kisah
Madyan yaitu orang-orang yang gemar melakukan pengurangan takaran dan
timbangan. Melihat gejala yang buruk di kalangan mereka, lalu Allah mengutus
nabi Syu’aib kepada mereka, sebgai pembimbing dan penunjuk jalan yang benar
dalam hal mu’amalah.
“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan
saudara mereka Syu’aib. Ia berkata:
“Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada
Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata
dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu
membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhanmu memperbaikinya. Yang demikian
itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.” (QS. 7 :
85).
Tetapi orang-orang Madyan ternyata tidak menggubris
ajakan nabi mereka dan mereka masih tetap melakukan hal-hal yang dilarang oleh
Allah. Sebagai akibatnya mereka menerima siksaan dari Allah, siksa itu berupa
suara yang menggelegar sehingga mereka semuanya binasa.
Berikut ini ayat Al-Qur’an yang menuturkan peristiwa
mereka : “Dan tatkala datang adzab Kami, Kami selamatkan Syu’aib dan
orang-orang yang beriman bersama-sama dia dengan rahmat dari Kami, dan
orang-orang dzalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah
mereka mati bergelimpangan di tempat tinggalnya.” (QS. 11 : 94).
Ayat tersebut merupakan peringatan bagi yang lainnya,
bahwa merajalelanya perbuatan mengurangi takaran dan timbangan serta meluasnya
perbuatan kerusakan akan mengakibatkan turunnya siksaan dari Allah kepada
pelakunya.
Di Populerkan Ahsan (sejahteraahsan@gmail.com)
Di bawah ini cuplikan videonya :