KEDUDUKAN WANITA DALAM PERSPEKTIF ISLAM


BAYI CANTIK BERKERUDUNG

KEDUDUKAN WANITA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Pada zaman Jahiliyah wanita tak berati apa-apa, dia hanyalah sampah yang tak ada gunanya, yang merupakan pelampiasan nafsu arab jahiliyah pada waktu itu. Kemudian Islam datang mengangkat derajat mereka yang merupakan syaqaiq arrijal. Kata almar’ah memang indah kedengarannya, tapi di balik kalimat tersebut ada hal yang perlu dijaga. Syariat sudah menjelaskan bahwa wanita adalah tulang punggung, jika ia baik maka baiklah semuanya.
Dengan hal itu laki-lakilah sebagai qawamah bagi wanita, sebagaimana yang dipaparkan dalam surah An-Nisaa ayat 34:
{ ….الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض }
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)…”
Maka seyogyanya kaum laki-lakilah yang menjadi pendidik pertama bagi wanita. Baginda Rasulullah selalu mengingatkan kepada ummatnya, bahwa wanita perlu menjaga dirinya ya’ni iffah, mulai dari pakain, pergaulan, tutur kata, dsb. Di situlah hakikat seorang wanita muslimah.
Tatkalah mereka berkata inilah gaul, inilah hidupku, kenapa mesti begini-begitu? Ini merupakan pernyataan yang dilontarkan oleh orang yang cuek akan Islam, walaupun mungkin sebenarnya mereka tau hal itu.
Rasulullah menjelaskan dalam haditsnya “Ada dua golongan ahli neraka, aku tidak pernah melihatnya: …,dan wanita yang berpakain tapi pada hakikatnya ariyah (telanjang)…” Rasulullah mengancam wanita tersebut tidak akan mencium bau surga. Sebagai wanita muslimah, seharusnya menyadari bahwa hidup ini hanyalah sementara,
kemudian kita akan pergi dan tak akan kembali. Hidup memang susah, banyak aturan, tapi itulah indahnya hidup. Sebenarnya syariat Islam sudah menegaskannya, baik dari Al-Qur’an, hadits, atau ijma sahabat. Contoh kecil masalah jilbab, para ulama salaf wal-khalaf sepakat atas wajibnya jilbab kecuali masalah menutup muka dan kedua telapak tangan.
Di antaranya Syafi’iyyah, yang mengatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat, maka wajar tidak ditutup. Ini sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan sahabat lainya serta para tabi’in, dengan dalil { وليضربن بخمرهن } atas mubahnya membuka muka dan kedua tangan. Adapun dalil hadits riwayat Ibnu Abbas, melihat wanita yahudi terbuka kedua tanganya dan Rasulullah melihatya,
maka bisa dikatakan, tangan bukan aurat sebagai mana riwayat tersebut yang juga diterangkan oleh haditsnya Asmaa’. Imam Syafi’i memberikan pengecualian jika terjadi pada zaman fitnah. Muncul pertanyaan, Apakah pada zaman Rasulullah tidak ada fitnah atau sebaliknya? atau fitnah itu baru muncul sekarang? Saya kira fitnah itu sudah ada pada zaman Rasulullah dan atsarnya sampai pada zaman sekarang.
Dan kebanyakan ulama salaf wal khalaf diantaranya, al Hadi dan Qasim, Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hambal dalam salah satu riwayatnya mengatakan wajibnya menutup wajah dan kedua telapak tangan, dengan dalil “Wanita itu aurat, Jika keluar rumah – tanpa menutup auratnya – syaitan akan memuliakannya”, (alhadist). Sebab perbedaan pendapat para ulama adalah pada penafsiran firman Allah dalam surah an-Nurr: (إلا ما ظهر منها). Sebagian ulama mengatakan, muka dan kedua telapak tangan dan cincin, yang diriwayatkan dari Ibnu Umar.
Adapun riwayat dari Ibnu Abbas, wajah dan kedua telapak tangan. Dari kedua pendapat d iatas, kita bisa simpulkan bahwa dalil yang dipergunakan qoul pertama kebanyakan ulama mendaifkannya (hadits Asmaa’) karena berlawanan dengan hadits sahih yang dipergunakan qaul kedua. Dan jika ada dua dalil yang berlawanan maka didahulukan dalil sahih sebagaimana yang dipaparkan para ulama. Allah mengangkat derajat wanita dengan memberikan hak-hak kepada mereka, di antara hak-hak itu: Pertama: Hak tarbiyah, dan pembentukan adab. Hak tarbiyah ini sudah dijelaskan oleh Rasulullah Saw.
Bagaimana seorang ayah mendidik anaknya, baik di ruang lingkup apapun. Hal ini sudah dijelaskan sebagaimana yang diriwayatkan Abu Daud dan Imam Tirmidzi, “Barang siapa yang mempunyai anak perempuan ,dan kemudian bertaqwa kepada Allah dan melaksanakan hak-haknya sebagai wanita, maka dia termasuk penghuni surga.} Pendidikan anak mulai dari yang kecil sampai hal yang besar. Dan ini sudah dicontokan oleh Rasulullah Saw.
Peran orang tua dalam mendidik anak sangatlah penting dalam membentuk keluarga sakinah. Sebagaimana yang difirmankan dalam Al-Qur’an, yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, dan keluargamu dari api neraka.” Di sinilah peran aktif seorang bapak dan ibu dalam menjaga anak-anaknya terutama anak perempuannya, sebagaimana yang telah dijelaskan. Kedua: Wanita berhak memilih pendamping hidupnya. Seorang bapak tak berhak memaksa anaknya menikah tanpa seizin anaknya. Di sinilah terlihat betapa Rasulullah menjaga perempuan dan mengangkat derajat mereka.
Rasulullah menjelaskan dalam sebuah hadits yang artinya “Janganlah kau nikahkan anak perempuanmu(al-bikr) sampai meminta izin kepadanya.” Kemudian Rasulullah melarang seorang bapak, memaksa anaknya menikah dengan pilihan bapaknya, sebagaimana yang dijelaskan dalam haditsnya yang diriwayatkan an-Nasai dari Aisyah r.a. Seorang pemuda mengadu kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya bapakku menikahkanku dengan seorang wanita yang tidak aku sukai,” maka Rasulullah melarang hal itu.
Dalil ini menunjukkan seorang bapak tidak mempunyai hak ijbar, dalam pernikahan anak perempuannya bahkan harus dengan seizin anak tersebut. Sebagian ulama melarang hal itu kecuali Syafiiyah yang membolehkan dengan alasan bahwa bapak dan nenek mempunyai hak ijbar dengan syarat kafaah(sederajat). Ketiga: Wanita berhak mengasuh anaknya. Ketika berpisah dengan suaminya, atau meninggal.
Para ulama serpakat dengan dalil “Anti ahaqqu maa lam tankihiy”. Keempat: Wanita berhak dalam hal warisan. Sebelum Islam, warisan hanya diperioritaskan bagi laki-laki, dan meniadakan wanita dan anak-anak. Kemudian datanglah Islam mengangkat derajat mereka, dan memberikan hak pada wanita, sebagaimana yang di jelaskan dalam surah An-Nisaa. Kelima: Wanita berhak bekerja. Adapun dalil yang membolehkan wanita bekerja: 1. Kaidah ushuliyah yang dipaparkan Imam Syafi’i dan sebagian ulama hanafiyah, ”Al-ashlu fil asyaa’ al-ibahah”. Maksudnya, semua yang bentuknya boleh dilaksanakan dan mempunyai manfaat bagi manusia, selama tidak ada dalil yang melarang perbuatan tersebut, maka itu boleh. 2. Al-‘urf (kebiasaan manusia yang tidak bertentangan dengan syariat Islam).
Hal ini tidak boleh diingkari, bahkan pada zaman sebelumya wanita membantu suaminya, saudaranya, atau bapaknya dalam bekerja, dengan syarat, tidak meninggalkan hal-hal yang wajib, dan pekerjaan tersebut sesuai dengan kodratnya sebagai wanita, dan pekerjaan tersebut lepas dari hal-hal yang menjurus kepada ikhtilath antara laki-laki. Keenam: Wanita berhak menuntut ilmu. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. {طلب العلم فريضة علي كل مسلم} hadits ini menunjuk secara umum, laki-laki dan wanita. Adapun hak ketujuh: Wanita berhak mengelola hartanya, dan siapapun tidak berhak mengelola harta tersebut tanpa seizinnya, seperti jual beli, sewa menyewa, pegadaian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan haknya.
Wallahuaalam bis shawab.
Referensi: Sumbawa News. Com
Di Populerkan Oleh  Ahsan (sejahteraahsan@gmail.com)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »