MASALAH ADAT ORANG-ORANG JAWA

MASALAH ADAT ORANG-ORANG JAWA


MASALAH ADAT ORANG-ORANG JAWA
Pada suatu ketika Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat orang jawa seperti selamatan, bersaji dll tidak langsung ditentang, sebab orang jawa akan lari menjauhi ulama jika ditentang secara keras. Adat istiadat itu diusulkan agar diberi warna atau unsur Islam.

Sunan Ampel bertanya atas usulan Sunan Kalijaga itu.

Apakah adat istiadat lama itu nantinya tidak mengkhawatirkan bila dianggap ajaran Islam? Padahal yang demikian itu tidak ada dalam ajaran Islam. Apakah hal ini tidak akan menjadikan bid’ah?

Pertanyaan Sunan Ampel ini dijawab oleh Sunan Kudus.
 .............

Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, sebab ada sebagian ajaran agama Budha yang mirip dengan ajaran Islam, yaitu orang kaya harus menolong orang fakir miskin. Adapun mengenai kekhawatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari nanti akan ada orang Islam yang akan menyempurnakannya.

Pendukung Sunan Kalijaga ada lima orang, sedang pendukung Sunan Ampel hanya dua orang yaitu Sunan Giri dan Sunan Drajad, maka usulan Sunan Kalijaga diterima. Adat istiadat jawa yang diwarnai Islam itu antara lain selamatan mitoni, selamatan mengirim doa untuk orang mati (biasanya disebut tahlilan) dan lain-lain yang secara hakiki tidak bertentangan dengan aqidah Islam.

Pada suatu ketika para wali berkumpul setelah empat puluh hari meninggalnya Sunan Ampel. Sunan Kalijaga tiba-tiba membakar kemenyan. Para wali yang lain menganggap tindakan Sunan Kalijaga berlebihan karena membakar kemenyan adalah kebiasaan orang jawa yang tidak Islami.

Sunan Kudus berkata: membakar kemenyan ini biasanya dilakukan orang jawa untuk memanggil arwah orang mati. Ini tidak ada dalam ajaran Islam.

Sunan Kalijaga berkata: Kita ini hendak mengajak orang jawa masuk Islam, hendaknya kita dapat mengadakan pendekatan pada mereka. Kita membakar kemenyan bukan untuk memanggil awrah orang mati, melainkan sekedar mengharumkan ruangan, karena orang-orang jawa ini kebanyakan hanya mengenal kemenyan sebagai pengharum, bukan wangi-wangian lainnya. Bukankah wangi-wangian itu disunnahkan Nabi?

Tapi tidak harus membakar kemenyan kata Sunan Kudus.

Adakah didalam hadist disebutkan larangan membakar kemenyan sebagai pengharum ruangan? Tukas Sunan Kalijaga.

Wali lainnya hanya diam saja. Sementara Sunan Kudus yang sebenarnya lebih condong berpihak kepada Sunan Kalijaga kali ini entah mengapa merasa risih atas tindak-tanduk Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga memang suka yang aneh-aneh, ujar Sunan Kudus. Tapi janganlah Sunan Kalijaga merendahkan martabat sebagai wali dengan memakai pakaian seperti itu.

Sunan Kalijaga memang lebih sering memakai pakaian seperti rakyat biasa. Celana panjang warna hitam atau biru dan baju dengan warna serupa, ikat kepalanya hanya berupa udeng atau destar.

Sunan Kalijaga menjawab, dihadapan Allah tidak ada yang istimewa. Hanya kadar taqwa yang jadi ukuran derajat seseorang bukan pakaiannya. Lagi pula ajaran Islam hanya menyebutkan kewajiban setiap umat menutup aurat. Tidak disebutkan harus memakai jubah atau sarung. Justru dengan pakaian seperti ini saya dapat bergaul dengan rakyat jelata dan dengan mudah saya dapat memberikan ajaran Islam kepada mereka.

Kembali para wali membenarkan pendapat Sunan Kalijaga.

Selanjutnya Sunan Kalijaga juga mengusulkan agar kesenian rakyat seperti gending, tembang dan wayang dapat diterima oleh para wali sebagai media dakwah. Usul ini oleh para wali akhirnya disetujui.

MASALAH SYEKH SITI JENAR
Intisari Ajaran Syekh Siti Jenar


“Ingsun menyaksikan pada zat-ingsun sendiri, dengan pernyataan, tak ada Tuhan melainkan Ingsun, dan menyaksikan pula bahwa Ingsun mempunyai utusan bernama Muhammad.
Ingsun adalah sebenar-benarnya bernama Allah; Allah adalah badan Ingsun. Rasul itu rahasia Ingsun; Muhammad itu cahaya Ingsun, ya Ingsun yang hidup tak kena maut; Ya Ingsun yang selalu ingat tanpa mengenal lupa; ya Ingsun yang abadi; ya Ingsunlah yang terang penglihatannya, bahwa Ingsun mengetahui segala gerak-gerik dan tingkah laku  makhluknya dimana dan saat kapanpun. Ingsun tak kenal khilaf, Ingsun yang maha menjadikan dan mengakhiri. Yang berkuasa secara bijaksana dan terbuka dengan tiba-tiba sempurna dan terang tetapi tak nampak sedikitpun gambaran yang serupa, melainkah Ingsun saja yang meliputi semesta hanya dengan kodrat Ingsun.” (sumber menurut : M. Hari Soewarno)

Perhatikan kata Ingsun yang sebenarnya tak boleh diucapkan untuk pribadinya, tetapi oleh Syekh Siti Jenar diucapkan seolah-olah dia sudah benar-benar sama dengan Tuhan. Sehingga Ingsun ditulis dengan Huruf Besar. Penyataan ini diucapkan atau dilahirkan oleh sang Guru itulah yang sebenarnya dilarang oleh para wali.

MENYADAP ILMU SEJATI DI GIRI KEDATON
Dalam sumber lain disebutkan bahwa Syekh Lemah Abang pernah berguru kepada Sunan Giri di Giri Kedaton atau Giri Gajah. Tetapi karena kelakukannya yang tidak senonoh yaitu suka mempelajari ilmu karang atau ilmu sihir maka ia tidak termasuk murid-murid terpilih. Sebab ilmu sihir yang mengandalkan bantuan jin dan setan itu dilarang oleh agama Islam.

Murid-murid yang terpilih artinya murid yang diperkenankan ikut mempelajari Ilmu Sepuh atau Ilmu Tua, yakni Ilmu Hak Sejati.

Tapi Syekh Lemah Abang tidak kekurangan akal. Ia tetap ingin mengikuti pelajaran tingkat tinggi itu secara sembunyi-sembunyi. Yaitu dengan jalan mengerahkan ilmu sihir sehingga tubuhnya nejadi seekor cacing.

Ia mengikuti wejangan Sunan Giri, tapi karena dasar batinnya tidak jernih maka apa yang diserapnya jauh dari apa yang dimaksudkan oleh Sunan Giri.

Selanjutnya ia membuka perguruan, banyak murid-muridnya yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Diantaranya adalah Ki Ageng Pengging. Lontang Asmara,  Pangeran Panggung, dll.

Namun karena pada mulanya ia menyadap ilmu dengan cara tidak benar maka ajaran yang disampaikan pun ajaran yang tidak benar.

Inti ajaran ini adalah Pantheisme atau manunggaling Kawula Gusti. Jadi dia sendiri telah mengaku bersatu dengan Tuhan.

MENGAKU DIRI SEBAGAI TUHAN
Syekh Siti Jenar sudah tidak mau lagi datang ke mesjid Demak. Kemudian dilanjutkan dengan tidak mau Sholat Jum’at. Bahkan tidak mau mengerjakan Sholat Lima Waktu. Murid-muridnya tentu saja turut kelakuan gurunya.

Tentu saja ajaran ini ditentang oleh para wali. Syekh Siti Jenar diberi peringatan namun tetap menyebarkan ajaran yang sesat itu. Padahal para wali sedang gencar-gencarnya menyiarkan agama Islam sesuai dengan Mazhhab Imam Syafii. Sholat adalah tiang agama, jika sholat sudah ditinggalkan pemeluk agama Islam berarti  telah merobohkan agama Islam itu sendiri.

Syekh Siti Jenar dipanggil oleh Sunan Giri untuk diajak musyawarah.

Utusan Sunan Giri bernama Santri Kodrat dan Malang Sumirang datang menyampaikan panggilan.

Tuan Siti Jenar diharap datang ke Giri Kedaton kata sang utusan.

Siti Jenar tidak ada, yang ada hanyalah Tuhan yang Maha Esa, jawab Syekh Siti Jenar dari dalam rumah.

Utusan yang sudah dibekali ilmu mantiq itu berkata dengan cerdiknya. Kalau begitu Tuhan yang dipanggil ke Giri Kedaton.

Syekh Siti Jenah berulah, Sekarang Tuhan tidak ada. Yang ada Siti Jenar.

Utusan cepat berkata, ya, Siti Jenar yang ada dipanggil ke Giri Kedaton.

Syekh Siti Jenar menjawab lagi Tuhan tidak memperkenankan Siti Jenar……

Utusan pun tidak mau kalah, cepat dia berkata: kalau begitu Tuhan dan Siti Jenar diminta datang ke Giri Kedaton.

Di dalam sidang ternyata Syekh Siti Jenar tidak mau merubah pendapatnya bahwa dia mendakwakan dirinya Tuhan. Tak perlu mengerjakan Sholat lagi dan tidak ada gunanya syariat. Itu hanya basa basi yang ada hanya hakekat demikian kata Syekh Siti Jenar.

Sunan Kalijaga menyahut, karena itukah tuan Siti Jenar tidak mau mengerjakan sholat?

Apa gunanya sholat? Tukas Siti Jenar. Allah dan Siti Jenar sudah bersatu. Kalau Siti Jenar menyembah Allah, itu berarti Allah menyembah Allah.

Itu ajaran sesat. Jangan hanya mementingkan hakekat. Harus penuhi syariat supaya mesjid tidak kosong dari para jama’ah, kata Sunan Giri.

Siti jenar tetap ngotot dengan pendiriannya. Itu namanya hanya berbuat kesia-siaan. Kalu umur ini hanya dipergunakan untuk sholat berarti waktu hanya habis untuk bersopan santun. Itu ilmunya orang bodoh dan kafir. Kalau orang itu betul-betul pasrah pada hakekatnya adalah persatuan Kawula Gusti.

Sunan Kalijaga cepat menanggapi perkataan Siti Jenar, itu ajaran sesat. Persis ajaran AL-Halaj di bagdad yang berpaham wihdatul Wujud, mengaku dirinya Tuhan Allah. Bila ajaran ini dibiarkan berlarut-larut maka akan membahayakan umat Islam di tanah jawa. Padahal iman mereka baru saja kita bina. Jika ajaran ini menyebar luas, umat Islam pasti akan terpecah belah.

Nabi Muhammad adalah Rasul terpilih, terjaga kesuciannya, namun beliau masih tetap melakukan syariat. Tekun mendirikan sholat. Ini Syekh Siti Jenar yang tidak diketahui asal-usulnya dengan jelas berani mengaku dirinya Tuhan dan tidak mau sholat. Jelas dia bermaksud merusak agama Islam yang kita syiarkan.

Akhirnya sidang para wali yang diketuai oleh Sunan Giri selaku Mufti tanah jawa memutuskan hukuman mati bagi Siti Jenar. Tetapi para wali cukup bijak. Siti Jenar diberi waktu setahun untuk merenung dan bertobat. Siapa tahu dalam waktu 1 tahun itu dia akan menyadari kesalahannya.

Selama 1 tahun sunan Kalijaga mendapat tugas mengawasi gerak gerik Siti Jenar. Ternyata Siti Jenar tidak berubah. Dia tetap berfaham Wihdatul Wujud atau manunggaling Kawula Gusti. Persatuan hamba dengan Tuhannya. Maka setelah lewat 1 tahun hukuman mati itupun dilaksanakan. Bertindak sebagai pelaksana adalah Sunan Kudus selaku Senopati Waliullah.

Walaupun Siti Jenar telah mati, tapi murid-murid nya masih banyak. Diantaranya adalah Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Tingkir, Lontang Asmara, dll.

Mengapa di babad tanah jawa dilukiskan Sunan Kudus seolah-olah membela Arya Penangsang? Karena Sunan Kudus tahu bahwa jalur pewaris ketiga tahta Demak yang sah adalaha ayahanda Arya Penangsang yang bernama Pangeran Seda Lepen. Tetapi ayah Arya Penangsang ini dibunuh oleh anaknya Sultan Trenggana. Kemudian Sultan Trenggana mengambil Jaka Tingkir Putera Ki Ageng Pengging sebagai menantunya. Padahal Ki Ageng Pengging adalah murid syekh Siti Jenar. Jaka Tingkirpun dengan setia menganut paham Manunggaling Kawula Gusti.

Maka dalam sengketa Jipang-Panjang atau Jaka Tingkir dan Arya Penangsang. Sunan Kudus yang pernah menghukum mati Siti Jenar itu berpihak kepada Arya Penangsang. Karena Arya Penangsang adalah muridnya yang setia menganut faham ahlussunnah.

Ajaran-ajaran Siti Jenar yang dimasa Raden Patah dilarang keras, pada jaman Sultan Hadiwijaya (gelar Jaka Tingkir setelah jadi Raja Pajang) dijadikan ajaran resmi kerajaan. Ajaran ini terus berkembang hingga awal kebangkitan Mataram dibawah Panembahan Senopati hingga puncak kejayaan Mataram dibawah Sultan Agung.

Pengganti Sultan Agung adalah susuhunan Amangkurat 1. Dia tidak mau kalah dengan gelar para wali yang disebut Sunan, dia menambahkan kata Su lagi dari kata Sunan sehingga menjadi Susuhunan yang artinya harus dijunjung tinggi. Amangkurat artinya yang memangku dunia. Dia menanamkan ajaran kepada rakyat bahwa kepada raja harus takut seperti takutnya pada Tuhan.

Seperti tersebut dalam sejarah, kehidupan Amangkurat 1 ini penuh dengan huru-hara. Demi kenikmatan dunia ia rela menjual negaranya kepada kompeni Belanda. Padahal Sultan Agung sangat anti kepada Belanda.

Amangkurat menganggap dirinya Tuhan sehingga boleh berbuat apa saja seenaknya. Baru satu tahun ia berkuasa sudah banyak menimbulkan korban. Pangeran Alit dan Cakraningrat 1 dari Madura dibunuh tanpa suatu alasan yang jelas.

Ketika seorang selirnya yang cantik meninggal dunia ia langsung membunuh 43 selirnya yang lain, dengan alasan 43 selirnya itu sengaja meracuni Ratu Malang selirnya yang paling cantik itu.

Saudaranya yang lain yaitu Pangeran Pekik dibunuh beserta seluruh keluarganya secara kejam. Pendek kata kekejamannya hampir sama dengan Raja Firaun. Tentu saja ini menimbulkan reaksi keras dikalangan rakyat.

Timbullah suara-suara sumbang tentang dirinya.

Dalam suasana yang keruh ini ada pihak-pihak yang sengaja memanfaatkannya. Mereka adalah para kaki tangan Raja yang sangat benci pada Dinasti Demak dan Giri Kedaton. Sebagaimana diketahui Demak dan Giri Kedaton adalah kekuatan utama yang menyangga kelangsungan aliran ahlussunnah. Sementara raja Amangkurat pendukung utam aliran syi’ah yang telah bercampur dengan faham kejawen.

Orang-orang syiah kejawen itu menghasut raja bahwa yang menimbulkan isu tidak puas dikalangan masyarakat adalah para ulama dari Giri Kedaton. Semua orang mau menghormat kepada Raja dengan cara membungkuk dan menyembah kakinya. Hanya para ulama Giri Kedaton yang tidak mau melakukan penghormatan seperti itu. Maka Sunan Amangkurat memerintahkan kaki tangannya untuk mengumpulkan para ulama Giri Kedaton dan yang erat kaitannya dengan Giri Kedaton.

Sebanyak 6000 Ulama Ahlussunnah dikumpulkan di alun-alun, dibantai secara keji dihadapan Sunan Amangkurat 1. Inilah bukti sejarah hitam dari penganut faham syiah kejawen warisan Siti Jenar yang mengajarkan persatuan hamba dengan Tuhan.

Kenapa merasa dirinya itu Tuhan, maka Sunan Amangkurat tega berbuat apa saja termasuk membantai 6000 Ulama Ahlussunnah.
 
Di Populerkan oleh ahsan (sejahteraahsan@gmail.com)

SUNAN DRAJAD BIN SUNAN AMPEL

SUNAN DRAJAD
1.       Asal Usul

Nama asli Sunan Drajad adalah Raden Qosim, beliau putera Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati dan merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.

Raden Qosim yang sudah mewarisi ilmu dari ayahnya kemudian diperintah untuk berdakwah di sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar antara Tuban dan Gresik.
Raden Qosim memulai perjalanannya dengan naik perahu dari Gresik sesudah singgah ditempat Sunan Giri. Dalam perjalanan ke arah Barat itu perahu beliau tiba-tiba dihantam oleh ombak yang besar sehingga menabrak karang dan hancur. Hampir saja Raden Qosim kehilangan jiwanya. Tapi bila Tuhan belum menentukan ajal seseorang biar bagaimanapun hebatnya kecelakaan pasti dia akan selamat, demikian pula halnya dengan Raden Qosim. Secara kebetulan seekor ikan besar yaitu ikan talang datang kepada Raden Qosim dan beliau pun menaiki punggung ikan tersebut hingga selamat ke tepi pantai. ..... silahkan dilanjutkan bacanya


Raden Qosim sangat bersyukur dapat lolos dari musibah itu. Beliau juga berterima kasih kepada ikan talang yang telah menolongnya sampai ke tepi pantai. Untuk itu beliau berpesan kepada anak keturunan beliau untuk tidak memakan daging ikan talang. Bila pesan ini dilanggar akan mengakibatkan bencana, yaitu ditimpa penyakit yang tiada obatnya lagi.

Ikan talang tersebut membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai yang termasuk wilayah desa Jelag (sekarang termasuk desa Banjarwati), kecamatan Paciran. Di tempat itu Raden Qosim disambut masyarakat dengan antusias, lebih-lebih setelah mereka tahu bahwa Raden Qosim adalah putera Sunan Ampel seorang wali besar dan masih terhitung kerabat kerajaan Majapahit.

Di desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan pesantren, karena caranya menyiarkan agama Islam yang unik maka banyaklah orang yang datang berguru kepadanya. Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim mendapat ilham supaya menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1 km disana beliau mendirikan langgar atau surau untuk berdakwah.

Tiga tahun kemudian secara mantap beliau mendapat petunjuk agar membangun tempat berdakwah yang strategis yaitu ditempat ketinggian yang disebut Dalem Duwur. Di bukit yang disebut Dalem Duwur itulah yang sekarang dibangun Museum Sunan Drajad, adapun makam Sunan Drajad terletak di sebelah barat Museum tersebut.

Raden Qosim adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri. Artinya dalam berdakwah menyebarkan agama Islam beliau menganut jalan lurus, jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus diamalkan dengan lurus dan benar sesuai ajaran Nabi. Tidak boleh dicampur dengan adat dan kepercayaan lama.

Meski demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat dakwah, didalam museum yang terletak disebelah timur makamnya terdapat seperangkat bekas gamelan Jawa, hal itu menunjukkan betapa tinggi penghargaan Sunan Drajad kepada kesenian Jawa.

Dalam catatan sejarah wali songo, Raden Qosim disebut sebagai seorang wali yang hidupnya paling bersahaja, walau dalam urusan dunia beliau juga rajin mencari rezeki. Hal itu disebabkan sikap beliau yang dermawan. Dikalangan  rakyat jelata beliau bersifat lemah lembut dan sering menolong mereka yang menderita.

2.       Ajaran Sunan Drajad yang Terkenal

Ajaran Sunan Drajad bersumber dari :

1.       Al-Quran
2.       Sunnah
3.       Ijma
4.       Qiyas
5.       Ajaran guru dan pendidik seperti Sunan Ampel
6.       Ajaran dan pemikiran atau paham yang telah tersebar luas di masyarakat
7.       Tradisi di masyarakat setempat yang telah ada yang sesuai dengan ajaran Islam, dan
8.       Fatwa Sunan Drajad sendiri.

Diantara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:

Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kan luwe
Menehono busono marang wong kang mudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan

Artinya kurang lebih demikian :

Berilah tongkat kepada orang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan

Adapun maksudnya adalah sebagai berikut: Berilah petunjuk kepada orang bodoh (buta) Sejahterkanlah kehidupan rakyat yang miskin (kurang makan) Ajarkanlah budi pekerti (etika) kepada yang tidak tahu malu atau belum punya adab tinggi. Berilah perlindungan kepada orang-orang yang menderita atau ditimpa bencana. Ajaran ini sangat supel, siapapun dapat mengamalkannya sesuai dengan tingkat dan kemampuan masing-masing. Bahkan pemeluk agama lainpun tidak berkeberatan untuk mengamalkannya.

Tentang puncak ma’rifat Sunan Drajad menuliskan perumpaannya sebagai berikut :

“Ilang, jenenge kawula,
Sirna datang ana keri,
Pan ilangwujudira,
Tegese wujude widi,
Ilang wujude iki,
Aneggih perlambangira,
Lir lintang karahinan,
Keserodotan sang hyang rawi,

Artinya:

Hilang jati diri makhluk,
Lenyap tiada tersisa,
Karena hilang wujud keberadaannya
Itulah juga wujud Tuhan,
Itulah yang ada ini,
Adapun persamaannya,
Seperti bintang diwaktu siang
Yang tersinari matahari.

Disamping terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa dermawan dan sosial, beliau jua dikenal sebagai anggota wali songo yang turut serta mendukung dinasti Demak dan ikut pula mendirikan mesjid Demak. Simbol kebesaran umat Islam pada waktu itu.

Dibidang kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir beliau juga pertama kali yang menciptakan Gending Pangkur, hingga sekarang gending tersebut masih disukai rakyat jawa. Sunan Drajad demikian gelar Raden Qosim, diberikan kepada beliau karena beliau bertempat tinggal di sebuah bukit yang tinggi, seakan melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi, yaitu tingkat atau dejat para ulama muqarrobin. Ulama yang dekat dengan Allah SWT.

STORY OF SUNAN KUDUS

SUNAN KUDUS
1.       Asal Usul

Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus adalah putera Raden Usman haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini disebelah utara kota Blora. Di dalam babad tanah jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Majapahit. Sunan ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan  Raden Husain atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan oleh sunan Kudus yang puteranya sendiri yang bernama asli Ja’far Sodiq.


Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhinya berimbang.

Selanjutnya melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin laskar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit hingga ke belahan timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan Demak.

2.       Guru-gurunya


Disamping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Ja’far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel.

Nama asil Kiai Telingsing ini adalah Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri cina yang datang ke pulau jawa bersama laksamana jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke pulau jawa untuk mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.

Di jawa, the Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang terletak diantara sungai Tanggulangin dan sungai Juwana sebelah Timur. Disana beliau bukan hanya mengajarkan Islam, melainkan juga mengajarkan kepada penduduk seni ukir yang indah.

Banyak yang datang berguru seni kepada Kiai Telingsing, termasuk Ja’far Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari cina itu, Raden Ja’far Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Ja’far Sodiq dimasa akan datang yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.

Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.

3.       Cara Berdakwah yang Luwes

A.      Strategi Pendekatan kepada Massa

Sunan Kudus termasuk pendukung gagasan, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut :

1.       Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar dirubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat yang demikian.
2.       Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
3.       Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
4.       Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras didalam cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.
5.       Pada akhirnya boleh saja merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik dengan ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali dengan konsekuen. Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak-gerik mereka sudah merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non-muslim.

Strategi dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka disebut kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau Aliran Giri.

Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhinya dapat dikompromikan.

B.      Merangkul Masyarakat Hindu

Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat-istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Di dalam masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.

Pada suatu hari Sunan Kudus atau  Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dari kapal besar.

Sapi itu ditambatkan dihalaman rumah Sunan Kudus.

Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para dewa. Lalu apa yang dilakukan Sunan Kudus?

Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi dihadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus melukai hati rakyatnya sendiri.

Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.

Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai, Sunan Kudus membuka suara. Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab diwaktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya.

Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Ja’far Sodiq itu adalah titisan dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya. Demi rasa hormat saya kepada jenis hewn yang pernah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih sapi.

Kontan para penduduk terpesona atas kisah itu.

Sunan kudus melanjutkan, salah satu diantara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah, kata Sunan Kudus.

Masyarakat semakin tertarik. Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an mereka menjadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.

Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil diraih akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat  berduyun-duyun masuk agama Islam.

Bentuk mesjid yang dibuat Sunan Kudus pun tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang  Hindu. Lihatlah menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak takut atau segan masuk ke dalam mesjid guna mendengarkan ceramah Sunan Kudus.

C.      Merangkul Masyarakat Budha

Sesudah berhasil menarik umat Hindu kedalam agama Islam hanya karena sikap toleransi yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara mesjid mirip dengan candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa.

Sesudah mesjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat wudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca kepala kebo gumarang diatasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha, “Jalan berlipat delapan” atau Sanghika Marga” yaitu :

1.       Harus memiliki pengetahuan yang benar
2.       Mengambil keputusan yang benar
3.       Berkata yang benar
4.       Hidup dengan cara yang benar
5.       Bekerja dengan benar
6.       Beribadah dengan benar
7.       Dan menghayati agama dengan benar.

Usahanya pun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk itu Sunan Kudus memasang lambang  wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu, sehingga mereka berdatangan ke mesjid untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.

D.      Selamatan Mitoni

Didalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.

Seperti diketahui, rakyat jawa banyak melakukan adat istiadat yang aneh, yang kadang kala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnnya berkirim sesaji dikuburan untuk menunjukkan bela sungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni. Mitoni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual tersebut dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.

Contohnya, bila seorang isteri orang jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukan acara selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.

Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan diarahkan dalam  bentuk Islami. Acara selataman boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh dibawa pulang. Sedangkan permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah seperti nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti Siti Maryam ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dan ibu harus sering membaca surat Yusuf dan surat Maryam dalam Al-Qur’an.

Sebelum acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya atau sejarah para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang acara pembacaan Layang Ambiya yang berbentuk tembang Asmarandana, Pucung dll itu masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan.

Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian diikrarkan (hajatkan dihajatan) oleh sang dukun atau tetua masyarakat setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau tempat-tempat sunyi dilingkungan tuan rumah.

Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang seluruh masyarakat. Baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam mesjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak Mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang isteri yang telah tiga bulan.

Sebelum masuk mesjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangannya dikolam yang sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama dikalangan Hindu dan Budha. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada masyarakat, tapi akibatnya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya? Karena iman mereka atau tauhid mereka belum terbina.

Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini tidak usah membasuh tangan dan kakinya waktu masuk mesjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya, disaat inilah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi cukup cerdik, ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya pada keterangan sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikuatirkan mereka jenuh Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.

Cara tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positipnya, rakyat ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke mesjid, baik dengan undangan maupun tidak, karena ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih dahulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu.

Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya dimasa lalu. Rakyat menaruh simpati  dan menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adau kesaktian dan melalui kesenian, beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Didalam tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.

Sunan Kudus di Negeri Mekkah

Didalam legenda dikisahkan bahwa Raden Ja’far Sodiq itu suka mengembara, baik ke tanah Hindustan maupun ke tanah Suci Mekkah.

Sewaktu berada di Mekkah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan disana ada wabah penyakit yang sukar diatasi. Penguasa negeri arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.

Sudah banyak orang mencoba tapi tidak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq menghadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambutnya dengan sinis.

Dengan apa tuan akan melenyapkan wabah penyakit itu? Tanya sang Amir.

Dengan doa jawab Ja’far Sodiq singkat.

Kalau hanya doa kami sudah puluhan kali melakukannya, di tanah arab ini banyak ulama dan syekh-syekh ternama. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini.

Saya mengerti memang tanah arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga doa mereka tidak terkabulkan, kata Ja’far Sodiq.

Hem, sungguh bernai tuan mengatakan demikian, kata amir itu dengan nada berang. Apa kekurangan mereka?

Anda sendiri yang menyebabkannya, kata Ja’far Sodiq dengan tenangnya. Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa hanya karena mengharapkan hadiah.

Sang Amir pun terbungkam seribu bahasa atas jawaban itu.

Ja’far Sodiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disia-siakan. Secara khusus Ja’far Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas dinegeri arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak langsung sembuh.

Bukan main senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikan kepada Ja’far Sodiq.

Tapi Ja’far Sodiq menolaknya, dia hanya ingin minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke tanah jawa, dipasang di pengimaman mesjid Kudus yang didirikannya sekembali dari tanah suci.

Rakyat kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Ja’far Sodiq yang bertugas didaerah itu. Karena mesjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Ja’far Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.

By. Ahsan (sejahteraahsan@gmail.com)

SUNAN BONANG

SUNAN BONANG
1.       Asal usul Sunan Bonang

Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Putera Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.


Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah puteri Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum adalah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya adalah puteri Raja Majapahit dan ayahnya menantu Raja Majapahit.

Sebagai seorang wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se tanah jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.

Sudah bukan rahasia bahwa latihan atau riadha para wali itu lebih berat daripada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.


Disebutkan dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam ke tanah seberang yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti ulama tasawuf yang berasal dari bagdad, Mesin, Arab dan Parsi atau Iran.

Sesudah belajar di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke jawa. Raden paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.

Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban dan daerah Sempadan Surabaya.

2.       Bijak dalam Berdakwah

Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak timbulah suara yang merdu di telinga penduduk setempat.

Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi pendengarnya.

Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarnya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.

Tembang-tembang yang  diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.

Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara, Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.

3.       Karya Satra

Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya sastra yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan (tasawuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasanya disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut wirid.

4.       Kuburnya ada dua

Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean.

Berita segera disebarkan ke seluruh tanah jawa. Para murid berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan memberikan penghormatan yang terakhir.

Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan beliau di Pulau Bawean. Tetapi murid yang berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan jenasah beliau dimakamkan di dekat ayahnya yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus jenasah mereka pun tak mau kalah. Jenasah yang sudah dibungkus dengan kain kafan milik orang bawean masih ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.

Pada malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut jenasah Sunan Bonang kedalam kapal dan hendak dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa kain kafan jenasah tertinggal satu.

Kapal layar segera bergerak ke arah Surabaya, tetapi ketika berada diperairan Tuban tiba-tiba kapal yang dipergunakan tidak bisa bergerak akhirnya jenasah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu sebelah barat Mesjid Jami’ Tuban.

Sementara kain kafannya yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenasahnya. Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh khidmat.

Dengan demikian ada dua jenasah Sunan Bonang, inilah karomah atau kelebihan yang diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak ada permusuhan diantara murid-muridnya.

Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M. Makam yang dianggap asli adalah yang berada dikota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu banyak yang diziarahi orang dari segala penjuru tanah air.
By Ahsan ( di populerkan di blog sejahteraahsn@gmail.com)

Story of SUNAN GIRI

SUNAN GIRI
1.       SYEKH MAULANA ISHAK

Di awal abad 14 M, kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Mena Sembuyu, salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agam Hindu dan sebagian ada yang memeluk agama Budha.


Pada suatu hari Parbu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya pasalnya puteri mereka satu-satunya jatuh selama beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang puteri belum sembuh juga.

Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad tanah jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.

Atas saran permaisuri Prabu Menak Sembuyu mengadakan sayembara, siapa yang dapat menyembuhkan puterinya akan diambil menantu dan siapa yang dapat mengusir wabah penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai Bupati atau Raja Muda. Sayembara disebar hampir keseluruh pelosok  negeri. Tapi sudah berbulan-bulan tidak juga ada yang dapat memenangkan sayembara tersebut.


Permaisuri makin sedih hatinya, prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur isterinya dengan menugaskan Patih Baju Sengara untuk mencari pertapa sakti guna mengobati penyakit puterinya.

Diiringi beberapa prajurit pilihan, Patih Baju Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para pertapa biasanya tinggal dipuncak lereng-lereng gunung, maka kesanalah tujuan Patih Bajul Sengara.

Patih Bajul Sengara akhirnya bertemu dengan Resi Kandabaya yang mengetahui adanya tokoh sakti dari negeri seberang. Orang yang dimaksud adalah Syekh Maulana Ishak yang sedang berdakwah secara sembunyi-sembunyi dinegeri Blambangan.
Patih Bajul Sengara bertemu dengan Syekh Maulana Ishak yang sedang bertafakkur disebuah goa. Syekh Maulana Ishak mau mengobati puteri Prabu Menak Sembuyu dengan syarat Prabu mau masuk atau memeluk agama Islam. Syekh Maulana Ishak memang piawai dibidang ilmu kedokteran, puteri Dewi Sekar Dadu sembuh sekali diobati. Wabah penyakit juga lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Kemudian diberi kedudukan sebagai Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.

2.       Hasutan Sang Patih

Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan, makin hari semakin bertambah banyak penduduk Blambangan yang memeluk agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak Sembuyu jadi panas mengetahui hal ini.

Patih Bajul Sengara sendiri sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan teroe pada pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang dipimpin Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa dan dipaksa kembali pada agama lama.

Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak sadar bila diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka dia segera pamit kepada isterinya untuk meninggalkan Blambangan.

Akhirnya, pada tengah malam dengan hati yang berat karena harus meninggalkan isteri tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok harinya sepasukan besar prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak.

Dua bulan kemudian dari rahim Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa senagn dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang montok dan rupawan itu. Bayi itu lain daripada yag lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang.

Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara, dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan kasih sayang keluarganya selama empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu wabah penyakit berjangkit kembali di Blambangan, maka Patih baju Sengara berulah lagi..

Bayi itu! Benar Gusti Prabu! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencan dikemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal diBlambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi itu! Kilah patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat.

Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu. Namun sang Patih tiada bosan-bosannya menteror dengan hasutan dan tuduhan keji yang akhirnya sang Prabu terpengaruh juga.

Walau demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari dimasukkan kedalam peti dan diperintahkan untuk dibuang ke samudera.

3.       Joko Samudra

Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi selat Bali. Ketika perahu itu berada ditengah-tengah selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundurpun tak bisa.

Nahkota memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan ini, meungkinkah perahunya membentur karang. Setelah diperiksa ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang berharga. Nahkoda memerintahkan mengambil peti itu. Semua orang terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan rupawan. Nahkoda merasa gembira menyelamatkan jiwa si bayi mungil itu, tapi juga mengutuk orang yang tidak berprikemanusiaan.

Nahkoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke pulau Bali. Tapi perahu tidak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan digerakkan  kearah Gresik ternyata perahu itu melaju dengan cepatnya.

Dihadapan Nyai Ageng Pinatih janda kaya raya pemilik Kapal Nahkoda berkata sambil membuka peti itu. Peti inilah yang menyebabkan kami kembali ke Gresik dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali, kata sang nahkoda.

Bayi…? Bayi siapa ini ? gumam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti.

Kami menemukannya di tengah samudera selat Bali, jawab nahkoda kapal.

Bayi ini kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil sebagai anak angkat. Memang sudah lama dia menginginkan seorang anak. Karena bayi ini ditemukan di tengah smudera  maka Nyai Ageng Pinatih kemudian memberinya nama Joko Samudra.

Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samudra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut beberapa sumber mula pertama  Joko Samudra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja dipesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.

Pada suatu malam, seperti biasanya Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan sholat Tahajjud, mendoakan muridnya dan mendoakan umat agar selamat di dunia dan di akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama.

Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberpa saat beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata. Untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan ampel memberi ikatan pada sarung murid itu.

Esok harinya, sesudah sholat subuh Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.

Siapakah diantara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan? Tanya Sunan Ampel.

Saya Kanjeng Sunan…..ujar Joko Samudra.

Melihat yang mengacungkan tangan adalah Joko Samudra, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng Pinatih datang untuk menengok Joko Samudra, kesempatan itu digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko Samudra.

Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samudra ditemukan ditengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi dirumah Nyai Ageng Pinatih.

Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti menjadi Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh  kepada wali besar yang dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu.

4.       Raden Paku

Sewaktu mondok dipesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putera Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan.

Setelah berusia 16 tahu, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba ilmu pengetahuan yang lebih tinggi di negeri seberang sambil meluaskan pengetahuan.

Di negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri. Disana juga ada ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandung yang nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para santri dan berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi kehidupanmu di masa yang akan datang.

Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai di negeri Pasai keduanya disambut gembira, penuh rasa haru dan bahagia oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku yang tak pernah melihat anaknya sejak bayi.

Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan ditengah samudera dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan berguru pada Sunan Ampel di Surabaya.

Sebaliknya Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya di saat berdakwah di Blambangan sehingga dipaksa harus meninggalkan isteri yang sangat dicintainya.

Raden Paku menangis sesegukan mendengar kisah itu. Bukan menangis kemalangan dirinya yang disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya berada. Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.

Di negeri Pasai banyak ulama besar dari negeri asing yang menetap dan membuka pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat, hal ini tidak disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama lainnya.

Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai Ilmu Laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada bandingnya. Disamping belajar ilmu Tauhid mereka juga mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Iran, Bagdad dan Gujarat yang banyak menetap di negeri Pasai.

Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehidupan Raden Paku dalam perilakunya sehari-hari sehingga kentara benar bila ia mempunyai ilmu tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya dimiliki ulama yang berusia lanjut dan berpengalaman. Gurunya kemudian memberinya gelar Syekh Maulana Ainul Yaqin.

Setelah tiga tahun berada di pusat Pasai. Dan masa belajarnya itu sudah dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan kembali ke tanah jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan kain putih berisi tanah.

Kelak, bila tiba masanya dirikanlah pesantren di Gresik, carilah tanah yang sama betul dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah kau membangun pesantren, demikianlah pesan anahnya.

Kedua pemuda itu kemudian kembali ke Surabaya. Melaporkan segala pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintahkan Makdum Ibrahim  berdakwah di Tuban, sedangkan Raden Paku diperintah pulang ke Gresik kembali ke ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih.

5.       Membersihkan Diri

Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati. Nahkoda kapal diserahkan  kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.

Tiga buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan. Biasanya, sesudah dagangan itu habis terjual di Pulau Banjar maka Abu Hurairah diperintah membawa barang dagangan dari pulau Banjar yang sekiranya laku di pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas dan lain-lain. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda, tapi kali tidak, sesudah kapal merapat dipelabuhan Banjar, Raden paku membagi-bagikan barang dagangannya dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk setempat.

Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku, Raden….kita pasti akan mendapat murka Nyai Ageng Pinatih. Mengapa barang dagangan kita diberikan secara cuma-cuma?

Jangan kuatir paman, kada Raden Paku. Tindakan saya ini sudah tepat. Penduduk Banjar saat ini sedang dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan dan kurang pangan. Sedangkan ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari mereka, sudahkah ibu memberikan hartanya dengan membayar zakat kepada mereka? Saya kira belum, nah sekaranglah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan diri.

Itu diluar wewenang saya Raden, kata Abu Hurairah. Jika kita tidak memperoleh uang lalu dengan apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng dihantam gelombang dan badai?

Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal atau perahu dengan barang dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang dengan apa dagangan pulau Banjar akan dibeli.

Paman tak usah risau, kata Raden Paku dengan tenangnya. Supaya kapal tidak oleng isilah karung-karung kita dengan batu dan pasir.

Memang benar, mereka dapat berlayar hingga dipantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi hati Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu berjalan meninggalkan kapal untuk bertemu dengan Nyai Ageng Pinatih.

Dugaan Abu Hurairah benar. Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal.

Sebaiknya ibu lihat dulu pinta Raden Paku.

Sudah, jangan banyak bicara. Buang saja pasir dan batu itu. Hanya mengotori karung-karung kita saja hardik Nyai Ageng Pinatih.

Tapi ketika awak kapal membuka karung-karung itu mereka terkejut. Karung-karung itu isinya menjadi barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari banjar, seperti rotan, damar , kain dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih besar ketimbang dagangan yang disedekahkan kepada penduduk Banjar.

6.       Perkawinan Raden Paku

Al-kisah ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul ia mempunyai sebuah pohon delima yang aneh didepan rumahnya. Setiap kali ada orang yang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka, kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa sengaja lewat didepan pekarangan  Ki Ageng Supa Bungkul. Begitu ia berjalan dibawah pohon delima tiba-tiba pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.

Ki Ageng Bungkul pun tiba-tiba muncul dan mencegat Raden Paku dan ia berkata, kau harus kawin dengan puteriku Dewi Wardah.

Memang, Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat memetik buah delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan puterinya yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu disampaikan kepada Sunan Ampel.

Tak usah bingung, Ki Ageng Bungku adalah serang muslim yang baik. Aku yakin Dewi Wardah juga seorang muslimah yang baik. Karena hal itu menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya itu. Demikian kata Sunan Ampel.

Tapi…….bukankah saya hendak menikah dengan puteri Kanjeng Sunan Yaitu dengan Dewi Murtasiah ujar Raden Paku.

Tidak mengapa? Kata Sunan Ampel. Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiha selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinan dengan Dewi Wardah.

Itulah liku-liku perjalan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkuk seorang bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makamnya terawat baik di Surabaya.

Sesudah berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar pulau. Sambil berlayar  itu beliau menyiarkan agama Islam pada penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan nusantara.

Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya, ia ingin berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok pesantren. Ia pun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia perdagangan.

Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan, andaikata hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya rasanya tiada akan habis, terlebih juragan Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka wanita itu ikhlas melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan pesantren.

Mulailah Raden Paku bertafakkur digoa yang sunyi, 40 hari 40 malam beliau tidak keluar goa. Hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur itu hingga sekarang masih ada yaitu desa Kembangan dan Kebomas.

Usai bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di negeri Pasai. Dia pun berjalan berkeliling daerah yang tanahnya mirip dengan tanah yang dibawa dari negeri Pasai.

Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku didaerah perbukitan yang hawanya sejuk, hatinya terasa damai, ia pun mencocokkan tanah yang dibawanya dengan tanah ditempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat itu adalah dataran tinggi atau gunung maka dinamakanlah Pesantren Giri. Giri dalam bahasa sansekerta artinya gunung.

Atas dukkungan isteri-isteri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan ampel, tidak begitu lama hanya dalam waktu tiga tahun pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh nusantara.

Menurut Dr.H.J. De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian berkedudukan diatas bukit di Gresik dan ia menjadi orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Diatas gunung tersebut seharusnya ada istana karena dikalangan rakyat dibicarakan adanya Giri Kedatin (Kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura, Lomnok, Makasar, Hitu dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.

Menurut babad tanah jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir diseluruh penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain. Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping pesantrennya yang besar ia juga membangun mesjid sebagai pusat ibadah dan pembentukan iman umatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh beliau juga membangun asrama yang luas.

Disekitar bukti tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber air itu sangat aneh dan gaib hanya beliau seorang yang mampu melakukannya.

7.       Peresmian Mesjid Demak

Dalam peresmian mesjid Demak Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang.

Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar manusia haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri.

Jika sunan Kalijaga mengusulkan peresmian mesjid Demak dengan membuka pagelaran wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan agar mesjid Demak diresmikan pada saat hari Jum’at sembari melaksanakan Sholat jamaah Jum’at.

Sunan Kalijaga berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelum Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi, lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.

Sunan Kalijaga membawa wayang kreasinya itu dihadapan Sidang para wali. Keran tidak bisa disebut gambar manusia maka akhirnya Sunan Giri menyetujui wayang kulit itu digunakan sebagai media dakwah.

Perubahan bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan Giri. Karena itu Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum penting itu. Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hyang Girinata yang arti sebenarnya adalah sunan Giri yang menata.

Maka perdebatan tentang peresmian mesjid Demak bisa diatasi. Peresmian itu akan diawali dengan  sholat jum’at kemudian diteruskan dengan pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan oleh ki dalang Sunan Kalijaga.

8.       Jasa-jasa Sunan Giri

Jasa yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di tanah jaw bahkan ke nusantara.

Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para wali lainnya. Dengan demikian sunan Giri ikut  menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan dengan faham Ahlussunnah wal jama’ah.

Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen membawa dampak positif bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang disiarkannya adalah Islam sesuai ajaran Nabi tanpa dicampuri dengan adat istiadat lama.

Di dalam kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali menciptakan Asmaradana dan Pucung, beliau pula yang menciptakan tembang dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain: jamuran, Cublak-ublak Suweng, Jithungan dan Delikan.

Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan  :

“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,
Dolanane na ing latar,
Ngalap padhang gilar-gilar,
Nundhung begog hangetikar.”

(malam terang bulan, marilah lekas bermain, bermain dihalaman, mengambil dihalaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang lari terbirit-birit)

Maksud dari lagu dolanan padhang bulan ;
Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, dimuka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.

9.       Para Pengganti Sunan Giri

Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1412 M, memerintah kerajaan Giri kurang lebih 20 tahun. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata.

Pengaruh Sunan giri sangatlah besar terhadap kerajaan Islam di jawa maupun di luar jawa. Sebagi buktinya adalah adanya kebiasaan bahwa apabila seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah mendapat pengesahan dari Sunan Giri.

Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama 200 tahun. Sesudah Sunan Giri meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu:

1.       Sunan Dalem
2.       Sunan Sedomargi
3.       Sunan Giri Prapen
4.       Sunan Kawis Guwa
5.       Panembahan Ageng Giri
6.       Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7.       Pangeran Singonegoro (bukan keturunan Sunan Giri
8.       Pengeran Singosari

Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker.
Sesudah pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton. Meski demikian kharisma Sunan Giri sebagai ulama besar wali terkemuka tetap abadi sepanjang masa.

by ahsan (sejahteraahsan@gmail.com)